Esok hari tanggal 18 Agustus diadakan perlombaan dekat lapangan desa yang berjarak setengah kilometer dari rumah, berdekatan dengan rumah Mat Daud. Dua hari ini Pak Kades meliburkan aktivitas pertambangan dan meminta warganya memeriahkan berbagai macam perlombaan. Tarik tambang, panjat pinang, sepak bola yang pemainnya wajib memakai sarung. Untuk anak-anak, balap egrang, makan kerupuk, dan balap karung dengan memakai helm.
Salah satu partisipan yang membantu persiapan lomba adalah Rido, ia baru saja selesai bantu-bantu di lapangan berbarengan dengan kedatangan Mat Daud, hampir jam sepuluh malam. Mat Daud mengajak Asyari menjadi bagian dari timnya. Mutia mendengar percakapan mereka dari kamar.
“Aku akan ikut dua lomba sekaligus. Besok panjat pinang dan lusanya sepak bola sarung. Aku tak peduli sumbangan Pak Kades atas perlombaan ini. Lagi pula kita juga dimintai sumbangan. Kalau menang, aku tak memakan jasanya secara cuma-cuma.”
“Iya. Kurasa aku mau ikut yang main bola saja.”
“Kalau sepak bola yang juara 1 dapat hadiah satu juta, juara 2, tujuh ratus lima puluh ribu," sahut Rido.
“Kalau panjat pinang?”
“Oh, hadiahnya kipas angin, barang-barang kelontong, sama sepeda. Ada dua sepeda pula. Sepeda perempuan sama sepeda anak roda tiga.”
Mutia segera menghambur keluar, bergabung dengan mereka. “Sepeda perempuan?” tanyanya tiba-tiba yang membuat Rido terpaku sejenak sebelum mengiakan.
“Apa Ayah mau ikut?”
Asyari menelengkan kepala. “Kau ingin sepeda? Kalau pun dapat hadiahnya harus dibagi-bagi.”
Mutia melirik Mat Daud.
“Nanti cari tahu saja harganya berapa, kalau ada yang mau, tinggal membayari yang lain,” kata Mat Daud.
Mutia menelan ludah dan beralih memandang ayahnya, memberikan tatapan memohon. Ia tahu ayahnya selalu enggan menolak keinginannya.
“Harus ada yang di rumah menemani Pakdemu.” Duduk di depan televisi Idris duduk memperhatikan mereka. Mutia melirik Nuriah yang sedari tadi diam.
“Ya sudah, nanti pas giliran Mas tanding aku di rumah saja.”
***
Ada lima tim yang akan bertanding, terdiri dari lima orang, dengan waktu memanjat lima belas menit. Tinggi pohon pinang berlumuran oli tersebut mencapai tujuh meter. Berdasarkan undian, tim Asyari berada di urutan ke empat.
Sepeda itu diikat dekat puncak. Angin bertiup, membuat benda-benda yang digantung di lingkaran sekitar bagian atas pohon pinang bergerak-gerak. Ceret minum, gantungan baju, gayung, sepeda anak, rantang, raket bulu tangkis, kaos, stoples, penanak nasi dan kipas angin yang diwakili kotak pembungkusnya saja, melayang-layang di atas sana.
Tim pertama menghabiskan waktu dengan kesia-siaan, tim kedua juga demikian. Semua penonton tergelak dengan segala upaya tim ketiga yang bolak-balik nyaris menggapai puncak dengan tiap anggota yang berganti-ganti posisi. Kaki orang terbawah tampak goyah sementara laki-laki di ujung sana kesusahan menggapai puncak hingga waktu yang tersedia pun habis.
Mutia menarik napas panjang. Tim Asyari maju. Posisi paling bawah, paling krusial sebagai penopang yang lainnya, siapa lagi kalau bukan Mat Daud. Ia tinggi dan lumayan kekar. Dan pemanjat terakhir, yang menjadi ujung tombak adalah ayahnya.
Mat Daut lebih dulu memeluk pohon pinang, Asyari di belakangnya berjongkok, lalu satu orang menginjak bahunya kemudian memanjat dengan menjadikan bahu Mat Daud sebagai pijakan, begitu terus sampai tiba giliran ayahnya memanjat. Ayahnya menaiki tubuh demi tubuh, menginjak bokong atas timnya yang memeluk kuat-kuat pohon pinang yang tak terlalu beroli lagi. Mutia berbunga-bunga. Pemanjatan itu berhasil.
Asyari mengatur posisi untuk duduk di puncak, sepeda yang diikat itu dilepasnya dengan hati-hati. Menurut peraturan, tim yang menang berhak memilih enam hadiah dari selusin barang yang digantung. Sepeda perempuan, sepeda anak, penanak nasi, kaos, kipas angin, rantang menjadi milik tim mereka. Selain dua sepeda, Asyari melemparkan hadiah lainnya ke bawah. Semua orang bertepuk tangan. Tim terakhir melanjutkan keberhasilan, memborong semua hadiah sisa pilihan Asyari.
***
Pembagian hadiah berlangsung di rumah Mat Daud. Menaksir harga jual sepeda perempuan, yang kira-kira senilai satu jutaan, Asyari ditentukan membayar empat anggota lain masing-masing seratus lima puluh ribu rupiah saja. Mutia mencelus. Bertanya-tanya apakah ayahnya punya uang. Namun semua sepakat Asyari bebas membayar mereka dengan mencicil atau kapan saja. Sepeda anak mereka putuskan akan menawarkannya pada tetangga yang punya anak kecil.
“Kau harus berhati-hati mengendarainya. Demi ini Ayah harus berhutang dulu. Jangan melewati jalan berlumpur!” seru Asyari ketika Mutia mulai menaiki sepedanya.
Sadelnya empuk diduduki, setangnya nyaman dikendalikan. Sepeda berwarna kuning dengan keranjang warna hitam ini mungkin sedikit kebesaran untuknya, namun Mutia tak menemui masalah karena kakinya yang lumayan panjang untuk ukuran anak seusianya.
Jalur setapak dari rumah Mat Daud yang menuju jalan utama sunyi tanpa rumah. Tanaman singkong memenuhi sisi kiri dan kanan jalur. Pemanjat lain telah kembali ke rumah melalui jalan memutar.