Gerakan Nuriah terhenti saat hendak menyapu karpet, menyadari Mutia yang masih belum beranjak dari tiduran di ruang tengah. Ia tak tahu harus melakukan apa. Sudah berkali-kali ibunya mengingatkan untuk segera sarapan tapi tidak juga diindahkannya. Suara langkah-langkah dari halaman rumah terdengar mendekat.
“Assalamualaikum. Permisi.”
Mutia membalikkan kepala ke depan. Ada dua orang, laki-laki dan perempuan dengan baju seragam berwarna biru. Yang laki-laki menenteng kamera. Si perempuan berambut sebahu berdiri di ambang pintu dan melengkungkan senyum.
“Walaikum Salam,” sambut Nuriah yang hampir menyapukan debu dan sampah tisu ke arah tamu asingnya.
“Dengan Ibu Nuriah? Boleh saya masuk Bu? Saya dari Jagad TV,” kata si perempuan.
Si reporter dan rekannya memperkenalkan nama masing-masing lalu menyampaikan maksudnya. Nuriah mengangguk setelah mengerutkan kening sejenak. Ia yang sedang memakai daster lengan sesiku segera meraih jilbab instan di kamar. Karena merasa canggung dan khawatir melihat dirinya sendiri di televisi, Mutia lebih memilih menghindar.
“Adek enggak mau diwawancara? Diam saja enggak apa-apa kok. Temani Ibu,” kata reporter itu dengan ramah. Mutia menggeleng sambil melirik Nuriah.
“Apa enggak kenapa-kenapa Ibu ngomong dan masuk TV?”
Si reporter perempuan melirik mereka bergantian, ia membuka mulut seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi urung dilakukannya.