Rawa Pasir

Ahmalia Azmi
Chapter #10

Bab 10

Jam tangan digital bentuk kepala kucing Mutia menunjukkan pukul 11.43. Hampir lima belas menit ia berdiri di luar pagar pendek sekolah menanti jemputan. Sebagian besar murid baik dari kelasnya maupun kelas lain sudah meninggalkan sekolah. Para pengajar masih berada di ruang guru dengan pintu terbuka.

Jika berjalan kaki menuju rumah akan menempuh waktu sepuluh menit. Mutia menggaruk kening dan ketika ia mulai tak tahan berdiri tegak di antara pedagang kacang rebus dan es cendol, suatu suara dari arah belakang membuatnya menoleh.

“Belum dijemput ya, kasihan.” Elang menyunggingkan senyum tengik sambil memposisikan telapak tangannya di dahi menangkal silau matahari. Matanya menyipit. Ia melewati pintu gerbang melengkung dengan daun dolar yang merambat itu.

Mutia tak menjawab dan memandang ke jalan ketika Elang berdiri di sebelahnya.

“Eh, apa benar kelompok tani pimpinan ayahmu hampir ditembak tetanggamu?”

“Dari mana berita itu kau dengar?" kata Mutia yang masih memandang lurus ke jalan. "Tetanggaku Pak Johar memang punya senapan. Tapi dia nggak melakukan apa pun terhadap kawan-kawan ayahku.” Sebenarnya Mutia tergoda untuk menyebut Johar sebagai manusia setengah asu, namun Elang anak yang ceplas-ceplos. Bisa-bisa umpatannya sampai ke telinga Johar. Laras senapan angin itu membayang di benaknya.

Mereka terdiam sekian detik. Mutia yang tadi ingin jalan kaki memutuskan menunggu lima menit lagi. Setidaknya ia punya kawan dari pada terus mematung seorang diri di luar sekolah meski Elang bisa sangat menyebalkan. Kali ini tumben tak ada lontaran kata mengesalkan hati darinya. Mungkin orang yang suka meledek pun bisa bosan dengan kelakuannya sendiri, pikir Mutia.

Detik demi detik berlalu. Embusan angin menggoyangkan daun-daun pohon glodokan tiang dekat mereka.

“Kok hari ini kau terlihat manis?”

Mutia menoleh dan mendapati pandangan Elang padanya. Sekejap Mutia merasa tersipu lalu cepat-cepat bersikap curiga. “Eh, kau bilang apa barusan?”

“Budek.”

Mutia merapatkan gigi, menahan diri untuk tidak membalas celetukannya. Diliriknya jam tangannya lagi, semenit lagi ia akan menepati niatnya berjalan pulang.

“Kau mengingatkan aku sama karakter cewek di film anime yang ditonton kakakku. Tapi aku lupa apa judulnya.”

Karakter cewek anime biasanya selalu imut dan cantik. Namun Mutia lekas-lekas menghalau prasangka positifnya. Ini adalah Elang yang selalu menjahilinya. Mungkin jika sampai bocah ini tahu Mutia sempat merasa malu karena pujian palsunya, Elang akan berguling-guling di tanah sambil tertawa menggelegar. Bertambah lagi amunisinya untuk mengganggu Mutia.

“Yang jelas karakternya seorang putri kelabang." Nada suaranya aneh. Ia terdengar geli.

Ketika menoleh, wajah bulat Elang memerah dan pipinya mengembung seolah menahan tawa. Bocah itu sempat melempar lirikan yang mengarah ke puncak kepalanya, membuat tangan Mutia meraba ke atas.

Lihat selengkapnya