“Kenapa? Kau ingin mengatakan sesuatu pada wartawan itu?” tanya Gustian mengikuti pandangan Gani yang segera berpaling ke depan.
“Enggak. Aku melihat Mutia.” Mutia terlihat tegar. Meski demikian Gani cukup tahu anak yang tidak terlalu menunjukkan emosi setelah mengalami musibah seperti ini justru kondisi batinnya bisa lebih mengkhawatirkan.
Mereka berjalan di aspal jalan utama menuju arah selatan, diterpa hawa hangat matahari yang belum naik tinggi. Gani dan Gustian tersenyum tipis dan mengangguk pelan ketika bertemu satu dua warga di jalan. Petugas dari Kepolisian Resor dikabarkan menghentikan laju masuknya truk-truk yang akan menambang pasir demi penyelidikan. Kabarnya, penambangan akan dihentikan selama beberapa waktu.
“Lewat sini,” kata Gani mengarahkan ke belokan kiri. Mereka memasuki jalur setapak yang kiri kanannya dipenuhi tanaman singkong. Beberapa menit lalu, Mat Daud menelepon, meminta agar Gustian dan Gani ikut mendampinginya meladeni tanya jawab dari petugas kepolisian. Si penghuni rumah yang mereka tuju rupanya sudah menunggu, ia berdiri dekat tangga teras rumahnya yang dibangun dengan bentuk setengah lingkaran. Begitu melihat keduanya ia langsung mengangguk.
Mat Daud merupakan salah satu orang yang turut serta menggarap rawa-rawa saat ia remaja, mengikuti inisiatif Asyari yang juga masih berusia awal dua puluhan waktu itu. Lahan rusaknya juga sama luasnya dengan milik Asyari dan beberapa petani lain.
Daun telinganya lebar dan tebal. Alisnya menukik tajam jika ia mengernyit. Tubuhnya tinggi, berisi dan betis kekarnya terdapat bekas luka bintik-bintik hitam hasil terkena knalpot panas motor. Alana sempat memberitahu bahwa ia seorang mantan atlet takraw daerah, sampai sekarang juga masih sering bertanding jika ada lomba yang diperuntukkan bagi usia di atas empat puluh tahun.
Saat mereka sampai, dua polisi duduk di ruang tamu, Mat Daud berada di seberang meja. Gustian memperkenalkan diri dan menerangkan posisinya yang menjadi perwalian hukum untuk para petani penolak tambang.
“Jadi Mas ini dari lembaga non pemerintahan ya,” katanya lagi. “Saya akan bertanya lebih dulu bagaimana Bapak Mat Daud mengetahui kabar kematian Asyari,” kata polisi yang lebih muda mengeluarkan buku saku dan pena.
Leher tebal Mat Daud menampakkan jakun yang bergerak turun naik. Ia menceritakan bahwa ia mendengar kabar itu dari pekerja gudang kayu yang salah satu rekannya menemukan tubuh Asyari lewat telepon.