Rawa Pasir

Ahmalia Azmi
Chapter #11

Bab 11

Jam menunjukkan pukul 17.15 ketika langit berubah gelap. Alana menekan sakelar bola lampu berdaya 5 watt di dinding dekat lemari susun kubus plastik, tingkat cahayanya cukup terang untuk kamar mungilnya. Ia mengambil empat helai blus katun lengan panjang, dua rok, dua celana pencil, satu celana olahraga, dua set piama dan empat macam warna kerudung paris dari lemari tersebut lalu disusunnya ke dalam koper ukuran 20 inci. Benda lain seperti peralatan mandi dan kotak peralatan make-up ditempatkan di ransel.

Karena membereskan berbagai hal Alana baru bisa berbaring di ranjang pukul 00.40. Tubuh yang lelah sewajarnya membuatnya lebih cepat terlelap. Namun benaknya kini masih sibuk meraba-raba, memperkirakan alur hidupnya pada waktu-waktu yang akan datang. Menjadi penata rias profesional adalah tujuannya, profesi yang diyakininya akan mampu menyelamatkan masa depannya. Satu-satunya keterampilannya yang hanya perlu ditempa lagi dan sudah jelas menghasilkan sesuatu. Sekarang ia masih bisa meninggalkan ayahnya. Lalu bagaimana dengan kesempatan-kesempatan yang akan datang kemudian? Keinginannya untuk berkembang, tak hanya berkutat di tanah daerahnya. Hatinya mendadak sakit, ia merindukan Liana, ibundanya.

Liana yang memberi nama anaknya semirip mungkin dengannya. Ibunya narsis, beranggapan barangkali dengan nama yang mirip, putri satu-satunya itu bisa menuruni sifat tangguh dan tegas dirinya.

Alana melengkungkan senyum getir sambil air matanya menggenang di sudut mata. Ia merasa dirinya lemah, tak mampu menghalau kecemasan, dan kecemasan pandai menusuk-nusuknya. Air matanya berderai-derai. Lalu perlahan kantuknya datang, menangis memang selalu memudahkaannya terlelap tidur.

Lihat selengkapnya