Rawa Pasir

Ahmalia Azmi
Chapter #13

Bab 13 : Dua Malam Tahlilan

Para tamu yang menghadiri acara malam tahlilan kedua Asyari membubarkan diri sambil membawa pulang sebuah wadah plastik berisi bubur kacang hijau. Bagian ruang belakang masih disesaki para ibu-ibu yang belum beranjak dan memilih untuk duduk mengobrol. Tersisa sekitar sepuluh bungkus bubur di dalam keranjang besar setelah seluruh orang-orang mendapat bagian. Alana mengambil dua bungkus, untuknya dan Idris. Posisi duduknya yang berada di pojok dekat lemari dapur dan di seberang pintu, membuatnya harus hati-hati memilih langkah melewati ibu-ibu yang duduk di lantai dengan tubuh merapat satu sama lain.

“Mau ke mana Lan?” tanya satu suara dari sanak keluarga Nuriah.

“Pulang sebentar, mau kasih Ayah bubur dulu,” kata Alana tanpa menengok sumber suara sambil menenteng dua bungkus buburnya dengan hati-hati agar tak menyenggol kepala orang.

Halaman depan sudah mulai sunyi dengan beberapa sepeda motor yang terparkir. Alana mendapati Idris yang duduk di teras tidak sedang sendirian. Yoda tengah duduk di lantai bersama ayahnya. Sejenak Alana tak tahu harus menyapanya atau tidak.

“Eh, maaf, aku numpang duduk di sini ya? Tapi, aku merasa enggak enak makan sendirian sementara ayahmu belum dapat bubur.”

“Ya.” Alana segera ikut duduk di samping Idris dan membukakan wadah serta menyodorkan sendok plastik ke arah ayahnya.

Begitu Idris dengan perlahan memasukkan bubur ke mulut dengan sedikit tetesan kuah yang mengalir ke lengannya, Yoda membuka tutup wadahnya sendiri dan berucap. “Ayo kita makan bersama.”

Alana melirik Yoda dan saat ia menyadari dirinya tengah diperhatikan, ia balas menoleh. Alana segera menekuri ubin lantai yang terciprat bubur ayahnya.

Tidak ada yang bicara hingga Yoda nyaris menandaskan buburnya. Karena detik-detik yang hening terasa menjadi ganjil, Alana merasa perlu mengatakan sesuatu. “Makasih sudah datang.”

“Aku baru tahu beritanya kemarin malam. Jadi enggak bisa ikut mengantar ke pemakaman,” katanya sembari menggeser posisi kakinya ke arah luar. “Pamanmu, meski berbeda pandangan dengan sebagian penduduk desa, bahkan pamanku sendiri, bagaimana pun aku hormat dengannya.”

Hening sejenak. Ia berkata lagi. “Aku dengar petugas kepolisian mendatangi beberapa saksi hari ini. Termasuk pamanku dan Pak Kades.”

“Tentu saja. Orang yang punya wewenang mengendalikan lahan pasir memang harus dimintai keterangan.” Alana tak mampu mencegah nada ketus dari ucapannya. Ia melirik Yoda sekilas, berusaha mencari riak terkejut dan canggung di wajahnya, tapi laki-laki itu tampak tak terganggu meski nama sanak keluarganya disebut.

“Menurutmu motif pamanmu ditembak karena masalah tambang?”

Alana melirik Yoda sambil menaikkan alis kirinya. “Serius kau bertanya? Memangnya karena apa lagi? Temanku yang anggota WALHI itu banyak menceritakan orang-orang yang menentang eksploitasi alam sering dikriminalisasi dan diserang. Aku rasa orang yang mendukung tambang bisa tersenyum lega sekarang. Apalagi, temanku itu bilang kalau ada kejadian seperti ini selalu susah untuk diusut.” Alana terkejut betapa gamblangnya ia menunjukkan amarah pada seseorang yang belum lama ia kenal. Namun Yoda merupakan salah seorang pendukung tambang, pemuda itu harus merasa bersalah.

Yoda meliriknya sambil menyipitkan mata.

“Baiklah nona, aku tahu arah bicaramu. Aku marah atas tragedi ini dan aku tahu, jika kubilang aku merasa ikut bertanggung jawab secara moral juga, yah itu pun tak ada artinya.”

Alana menghela napas, “Kau bilang kau menghormati pamanku, itu sebabnya kau datang. Gimana dengan pamanmu? Aku enggak lihat dia ikut tahlilan.”

Yoda mengerjap. Punggungnya bergerak seperti tak nyaman. Alana merasa dirinya sedikit kelewatan.

“Dia tadi duduk di luar, kami pergi bareng dari rumahnya, tapi aku bilang, aku mau duduk-duduk sebentar di sini.”

Lihat selengkapnya