Rawa Pasir

Ahmalia Azmi
Chapter #13

Bab 13

Pembagian hadiah berlangsung di rumah Mat Daud. Menaksir harga jual sepeda perempuan, yang kira-kira senilai satu jutaan, Asyari ditentukan membayar empat anggota lain masing-masing 150 ribu rupiah saja. Mutia mencelus. Bertanya-tanya apakah ayahnya punya uang. Namun semua sepakat Asyari bebas membayar mereka dengan mencicil atau kapan saja. Sepeda anak mereka putuskan akan menawarkannya besok pada tetangga yang punya anak kecil.

“Kau harus berhati-hati mengendarainya. Demi ini Ayah harus berhutang dulu. Jangan melewati jalan berlumpur!” seru Asyari ketika Mutia mulai memakai sepedanya.

Sadelnya empuk diduduki, setangnya nyaman dikendalikan. Sepeda berwarna kuning dengan keranjang warna hitam ini mungkin sedikit kebesaran untuknya, namun Mutia tak menemui masalah karena kakinya yang lumayan panjang untuk ukuran anak seusianya.

Jalur setapak dari rumah Mat Daud yang menuju jalan utama sunyi tanpa rumah. Tanaman singkong memenuhi sisi kiri dan kanan jalur. Pemanjat lain telah kembali ke rumah melalui jalan memutar. Sementara jalur yang ini lebih dekat menuju rumah mereka.

Ketika hendak sampai di belokan menuju jalan utama, Mutia menoleh ke belakang. Ayahnya masih di tempat, masih belum bergerak, sosoknya tertutupi seseorang. Orang itu berhadapan dengan ayahnya, sepertinya sedang bicara. Penasaran dengan sosok itu, ia kembali memutar balik sepedanya dengan kayuhan pelan. Saat semakin dekat, tertangkap kata-kata dari sosok itu.

“...Kau sungguh-sungguh tak mau mundur?”

Ayahnya menjawab. “Aku akan terus menolak tambang sampai kapan pun.”

Sosok itu tersentak dan membalikkan badan menyadari kehadiran Mutia. Ia seorang laki-laki yang tampak lebih muda dibanding ayahnya. Mulutnya mengatup. Berulang kali keningnya berkedut. Tangannya yang tadi mengepal dimasukkan ke saku celana. Bola matanya perlahan melirik ke sekeliling.

Mutia mengira-ngira, bahwa laki-laki ini memang berniat menemui ayahnya empat mata saja, menunggu saat ayahnya sedang sendirian. Dan kembalinya Mutia jelas menghalanginya dari sesuatu yang akan dikatakan atau akan dilakukannya, di waktu senja begini, di jalan yang sunyi ini.

Tanpa mengatakan apa-apa lagi laki-laki itu berbalik dan bersiap melangkah, lalu menunduk melirik Mutia. “Kenapa anakmu wajahnya tegang begini?” Ia sedikit memajukan tubuh. “Bapak kan tidak melakukan apa pun pada ayahmu. Kami bukan sedang bertengkar,” katanya. Wajah gusarnya tadi menjadi lebih tenang. Ia begitu saja berlalu, mengabaikan ayahnya dan berjalan cepat menuju jalan utama.

Telapak tangan Mutia yang mendadak berkeringat membasahi pegangan setang sepeda. “Dia siapa Yah?”

“Ya, dia semacam orang yang menjaga hutan desa supaya batas wilayahnya nggak dimasuki sembarang orang,” jawab Asyari sambil melangkah. “Ayo.”

“Iya. Tapi siapa? Kok lagaknya seperti itu? Apa dia mau memukul Ayah? Apa orang yang sok jagoan bertambah lagi di desa kita?” kata Mutia merasakan tenggorokannya tersekat.

“Orang yang sok jago?”

“Yang lututnya gemetar pas panjat pinang tadi.”

Lihat selengkapnya