Kerisauan segera tergambar di wajah Nuriah ketika mendengar cerita Alana yang baru mendapat telepon Rido. Sebentar lagi putranya akan kembali ke rumah sambil membawa masalah.
Rido memukul orang saat sedang mengganti oli di bengkel satu-satunya di desa. Orang-orang itu membicarakan penutupan tambang pasir. Mereka mengeluh tanpa sadar atau lebih tepatnya tidak mengenali Rido sebagai anak Asyari yang duduk memunggungi mereka. Lalu berlanjut dengan menceritakan jasa-jasa Dahuri yang begitu banyak dalam memajukan desa. Fakir miskin disantuni bukan hanya menjelang bulan Ramadhan, namun rutin tiga bulan sekali, mensponsori berbagai hajatan desa, dan menyisihkan uang kas desa untuk menyumbang pembangunan masjid.
“Bahkan hadiah panjat pinang itu hasil sumbangan pribadi Pak Kades, enggak habis pikir aku petani anti pasir itu nyaman-nyaman saja ikut berlomba. Bahkan si mendiang ini dapat sepeda untuk anak perempuannya,” kata seorang pemuda bertubuh kurus lalu menambahkan bahwa Asyari menentang tambang, lantaran penolakan Pak Kades atas permintaannya yang terlalu tinggi untuk ganti rugi sawahnya.
Rido terpicu, ia berbalik dan mendekat. Mempertanyakan apa maksud ucapan mereka barusan. Pemuda tadi terbengong dan bertanya apa urusannya, yang makin membuat Rido mengepalkan tangan. Lalu, tanpa mengulur waktu untuk memikirkan risiko, ia memberinya tonjokan di bawah mata dan satu sepakan di lutut hingga orang itu terjungkal. Serangan mengagetkan itu hampir saja dibalas oleh dua temannya yang lain ketika Rido berkata bahwa yang mereka bicarakan adalah ayahnya.
Petugas bengkel berusaha melerai. Pemuda yang kena pukul itu kemudian mengancam akan memperkarakan hal tersebut. Ada kamera CCTV di bengkel. Rido dipojokkan. Jika tak ingin dilaporkan ia harus menyerahkan uang damai. Tak ingin mempersulit ibunya, ia menghubungi Alana. Namun Alana meminta merekalah yang harus ke rumah, membicarakan insiden ini dengan jalan baik-baik.
Nuriah terlihat begitu letih untuk terkejut. Pada akhirnya pemuda itu tidak memerkarakan hal itu, tapi ia meminta uang pengobatan senilai dua ratus lima puluh ribu, lalu berkata ia tak tega meminta uang damai lebih tinggi di saat keluarga mereka sedang ditimpa kemalangan. Menurutnya lagi, penutupan tambang berarti sebuah pukulan. Sebagai kuli pengangkut pasir, praktis ia menganggur.
“Mungkin dia mengibul. Hanya satu pukulan bagaimana mungkin bisa menyeret orang ke polisi. Lagi pula, aku kan di bawah umur,” kata Rido setelah kepergian orang-orang itu.
“Seharusnya kau tak memukulnya,” ujar Alana lirih.
“Aku kelepasan, omongan mereka keterlaluan.” Rido menarik napas perlahan.
“Kak Lana benar, Mas Rido harusnya bisa tahan emosi. Kita jadi harus mengeluarkan uang gara-gara ini,” kata Mutia. Perkataan adiknya ini membuat Rido memutar leher ke arahnya.
“Gara-gara kau kepingin sepeda orang-orang itu jadi punya bahan mengata-ngatai Ayah! Bahkan kita masih punya utang gara-gara sepeda bodohmu itu!” Suara Rido membahana. Wajah Mutia mendadak tegang. Ia kemudian bangkit dan membanting pintu kamarnya. Suara tangis teredamnya terdengar samar-samar.