Menantikan kemajuan kasus pamannya sementara yang bisa dilakukan hanyalah duduk-duduk memantau berita televisi menggelisahkan Alana. Kalau saja ia bisa segera melakukan sesuatu, menanyai satu demi satu warga desa yang memiliki senapan. Gani dan Gustian sudah berjanji akan datang kembali, melakukan penyelidikan mandiri.
Suara Mutia yang memanggil mengagetkannya. Karena berkutat dengan pikirannya, ia tak mendengar suara langkah-langkahnya di atas ubin lantai.
“Ada apa?” tanya Alana.
“Apa Kak Lana mau temani Tia ziarah ke Ayah?” tanyanya dengan nada sungkan yang menurut Alana harusnya tak perlu ada.
“Sekarang. Ya, boleh.”
Idris duduk di depan televisi yang tidak dinyalakan. Baru pukul sembilan dan Alana telah selesai mandi dan mencuci baju. Tugas memasak bisa dilakukannya setelah kembali dari ziarah dan Nuriah bisa mengawasi ayahnya sebentar. Ia minta izin keluar sebentar pada ayahnya dan menggapai kardigan biru di balik pintu kamar sebagai luaran piama lengan pendeknya dan memasang hijab bergo di kepalanya. Motornya segera dikeluarkan dari ruang belakang.
Makam itu dicapai kurang dari sepuluh menit. Mereka berdua berjongkok di hadapan gundukan tanah dengan bunga-bunga kering. Dua batang kayu yang dipacakkan sebagai nisan sementara bergeser agak miring dari posisi hari pertama Asyari dikuburkan. Keduanya lalu melantunkan surah-surah pendek dan doa. Setelahnya kuntum dari beberapa jenis bunga dikeluarkan Mutia dari kantong keresek. Mutia menaburkan bunga-bunga dan Alana menyiramkan air di atas gundukan tanah. Kurang dari lima belas menit mereka berbalik.
Karena jarak yang tak rapat antar kuburan satu dengan kuburan lain mereka leluasa berjalan cepat. Dedaunan gugur di jalur setapak mengeluarkan suara ketika kaki mereka menginjaknya. Seorang petugas makam memperhatikan mereka dari ujung jalan, mengangguk dengan senyum tipis ketika mereka lewat.
Sekitar lima puluh meter dari pemakaman merupakan TKP pembunuhan Asyari. Alana tergerak untuk mendekat wilayah itu. Belum sekalipun sejak tragedi ia betul-betul melihat langsung bagian aspal mana tempat Asyari tumbang. Seakan bisa menerka arah pandangan Alana, Mutia bertanya apakah ia berniat untuk melihat-lihat lokasi di bagian sana.
Untuk sejenak Alana berpikir apakah Mutia takkan terluka jika ia menuruti rasa ingin tahunya. Namun adik sepupunya itu tampak tak masalah jika mereka mampir sebentar. Ia pun mengangguk.
“Dilarang lewat dari sini, kalau mau ke pantai lewatlah jalan lain,” kata satu petugas berbaju biasa dengan suara galak ketika Alana menghentikan motornya tiga meter jauhnya dari garis polisi. Matahari yang mulai naik menerpakan sinar pada pita kuning tersebut. Namun saat melihat siapa yang duduk di boncengannya, pandangannya melembut, polisi itu tahu siapa Mutia.
“Kami keluarga dari Asyari Pak, saya keponakannya dan ini anaknya,” kata Alana.
“Mau ngapain kemari?”
Tak yakin bagaimana membuat jawabannya tak mengundang pertanyaan lain Alana hanya menjawab, “Cuma mau lihat-lihat.”
“Ya, sudah. Asal jangan masuk melewati garis ya.” Polisi itu berbalik lagi, berjalan ke sisi di luar garis dengan posisi memunggungi mereka.
Barisan pohon karet membentang pada sisi kiri dan kelapa pada sisi kanan, di mana jalur sempitnya menuju rumah Bowo dan pesisir. Hanya pada sisi pohon karet yang terdapat saluran air dangkal. Alana memanjangkan leher, jejak ban yang sempat dilihat Mat Daud di bagian luar aspal tak terlalu jelas lagi terlihat. Ia mencoba menggambarkan adegan di kepalanya, Asyari yang datang dari ujung sana; ia tak perlu melewati jalur sempit di antara pepohonan kelapa dari belakang rumah Bowo, bawaan hasil melautnya akan merepotkan jika melewati wilayah itu.
Garis putih dimana tubuh Asyari tumbang tergambar di tengah-tengah. Satu foto yang dilihatnya dari Aipda Krisna tergambar di benaknya. Bagaimana kira-kira yang terjadi saat itu? Si pembunuh menunggu dan menghadang Asyari ketika melihat lampu motor depannya yang menuju ke arahnya. Pamannya berhenti, mungkin karena mengenalnya atau memang sewajarnya berhenti untuk menanyakan mengapa di jalan sempit dengan lebar aspal dua meter lebih itu ia menghalangi jalannya.
Kunci motor itu masih belum ditemukan dan tak ada tanda kehilangan benda lain, isi dompet Asyari masih sesuai jumlahnya dengan yang diketahui Nuriah.
“Gimana ya keadaan kebun?” Mutia menggumam setelah sekian menit mereka hanya melihat-lihat sekitar TKP tanpa bersuara.
“Mau ke sana sebentar?”
“Boleh, kalau Kakak mau.”
***