Rawa Pasir

Ahmalia Azmi
Chapter #16

Bab 16 : Kantor KPRP

Acara TV berita sedang menayangkan siaran langsung Dahuri dan Sapto yang sudah keluar menjalani pemeriksaan. Kantong mata Sapto terlihat jelas saat kamera tampak nyaris menabrak keningnya. Sosok Dahuri yang tak pernah dilihatnya menebar senyum ramah. Mereka berdua diapit orang-orang saat meninggalkan halaman Polres dan segera masuk ke mobil terpisah tanpa komentar.

“Pemirsa seperti yang kita telah ketahui. Korban atas nama Asyari pada tanggal 20 Agustus ditemukan meninggal dunia dengan dua luka tembakan di dada. Berdasarkan informasi dari Kapolres disebutkan bahwa korban merupakan seorang petani yang mengolah lahan milik negara menjadi ladang ubi jalar bersama petani-petani lain. Sejauh ini polisi masih terus mendalami rangkaian peristiwa sebelum terjadinya tragedi dan bukti-bukti yang ada. Termasuk memeriksa siapa saja orang-orang di tempat tinggal korban yang memiliki senjata api.”

Ponselnya mendengungkan nada tanda panggilan, nama Alana terpampang di layar. Gani menekan tombol di remote untuk mengecilkan volume suara televisi.

“Kau lagi ngapain Gan?”

“Cuman duduk di depan TV, baru lihat dua orang penting desamu yang habis memberi kesaksian di kantor polisi.”

“Sebenarnya ada hal yang baru ditemukan. Sejam yang lalu, beberapa petugas menggali saluran air dekat lokasi kejadian. Kunci motor yang hilang itu ditemukan.”

“Oh. Kenapa bisa tiba-tiba ditemukan?”

“Aku yang memberitahu kemungkinannya pada petugas di TKP. Aku bertanya tentang gantungan kunci pada kunci motor itu pada Mutia.”

“Apa penembaknya yang membuangnya? Atau....”

“Mutia bilang gantungan kunci motor Paman berbentuk sesuatu yang menyerupai pisau lipat kecil di dalamnya. Mereka membawanya untuk diperiksa.”

Gani terdiam sejenak. “Benar juga, orang seperti Paman mungkin masih memikirkan bagaimana sedikit memberi perlawanan saat dicegat seperti itu.” Gani membayangkan dari lokasi TKP itu, Asyari memberhentikan motor, melepas kunci dan menggenggamnya, sementara mewaspadai bahaya di depan matanya.

“Memang mustahil, tapi mudah-mudahan Paman sempat memberi perlawanan, melukai si pelaku. Mungkin ada sesuatu yang masih menempel di situ.”

Karena kunci motor beserta gantungannya itu berada di saluran air, kemungkinan besar si pembunuhlah yang membuangnya, karena telah berhari-hari terendam, nyaris tak mungkin mendapatkan jejak DNA jikalau memang pisau kecil itu telah melukai seseorang.

“Sebenarnya aku dan Bang Gustian mau ke sana lagi besok. Kami juga akan menampilkan artikel mengenai kasus ini di situs. Jadi berencana mewawancarai orang-orang.”

“Kalian berniat melakukan wawancara dengan beberapa orang yang punya senapan api di wilayah sini?”

“Ya, niatnya mau menjumpai Kepala Desa dan ketua KPRP lebih dulu. Mereka berdua baru saja pulang dari kantor polisi. Kau lihat beritanya?”

“Ya, ini juga barusan nonton.” Hening sejenak. “Sebenarnya kami sudah bertanya kepada petugas yang juga datang ke rumah, mengenai jenis senjata yang dipakai pelaku saat. Dia mengatakan bahwa senapan yang digunakan merupakan tipe umum.”

***

Tempat yang menjadi tujuan pertama mereka adalah kantor KPRP. Setelah Gani dan Gustian tiba, mereka sedikit menunggu Mutia pulang dari sekolah untuk ikut mengonfirmasi anggota KPRP mana yang saat itu mengajak Asyari bicara setelah perlombaan panjat pinang. Sapto sama sekali tidak keberatan ketika Gani menyampaikan tujuan mereka bertamu. Di dalam bangunan dengan plafon rendah tersebut mereka duduk bersila di lantai ruangan tengah. Di dinding terpajang beberapa foto dengan latar hutan. Nakas dengan warna coklat mengilat terdapat di sudut ruang.

“Semalam saya dicecar lima jam tanya jawab dan meski yang saya lakukan hanya duduk-duduk tetap saja badan pegal-pegal semua. Istri saya sedang tidak ada di sini, dia sedang berada di Malang karena cucu kami sedang sakit.” Sapto menderaikan tawa pelan yang tampak kurang sesuai. Matanya melirik Alana. “Ayahmu sendirian di rumah?”

“Ada Bibi yang menjaga sebentar.”

Sapto mengangguk. “Kalian mau minum apa?” tanya Sapto sambil melirik mereka satu per satu. Semua menolak dengan halus. Pandangannya tertuju pada Mutia, “Bukankah ini anak bungsu almarhum Asyari? Sudah pulang sekolah ya? Apa mau teh botol rasa apel? Biar Bapak ambilkan.”

Mutia terdiam sejenak, tampak segan untuk mengiakan. Sapto segera bangkit tanpa menunggu jawaban dan kembali dengan satu botol minuman yang disebutnya tadi di tangan kanan lalu mengangsurkannya pada Mutia.

Lihat selengkapnya