Rumah Rolian tidak sulit ditemukan karena terletak di belokan beberapa belas meter menuju jalan raya. Di bagian depan rumahnya terdapat kios kecil yang menjual daster dan baju tidur. Tidak seperti ketuanya Sapto yang memiliki rumah dua lantai dengan gaya minimalis, rumah Rolian kurang lebih sama dengan Alana dan Asyari. Seorang perempuan dengan rambut dikuncir dan memakai baju tidur menyapa dari bangku dekat kiosnya.
“Mbak dan Masnya cari apa ya?”
“Cari Pak Rolian,” kata Gustian. “Ini rumahnya kan?
“Ah, iya, tadi suami saya bilang akan kedatangan tamu. Masuk saja Mas,” selagi istri Rolian berkata begitu sosok laki-laki muncul dari sisi rumah dan mendekati mereka.
Alana merasakan sentuhan tangan Mutia dan menatapnya.
“Benar, itu orangnya Kak.” Alana melirik Gani yang memperhatikan Mutia, mereka berdua saling mengangguk pelan.
Setelah Gustian memperkenalkan diri, Rolian pun mengajak mereka masuk. Ia berjalan cepat dan sedikit bungkuk, keningnya luas dengan bentuk wajah oval. Agak susah menilai ekspresinya, meski Alana yakin sempat menangkap sekilas raut wajah gugupnya. Karena ruang tamunya lumayan lebar dan hanya ada empat buah kursi, mereka semua duduk di lantai beralaskan karpet vinil di bagian selatan ruangan. Istri Rolian ikut masuk dan bertanya dengan ramah kepada mereka untuk minum apa. Gustian segera menjawab bahwa tak perlu repot-repot karena mereka hanya mampir sebentar. Ia kemudian mengangguk dan kembali ke kiosnya.
“Kalian semua ingin bertanya tentang Asyari ya?”
“Ya, ada sesuatu yang mengganjal. Bapak pasti tahu anak ini adalah putri Asyari.”
Rolian mengangguk. “Ya, tentu saya tahu.”
Gustian melirik Mutia yang duduk merapat ke Alana. “Dia bilang Bapak sempat bicara dengan ayahnya saat berjalan pulang dari rumah Mat Daud.”
Rolian menatap Mutia sejenak. “Iya, itu memang benar. Memangnya kenapa?”
“Boleh kami tahu apa yang Bapak bicarakan saat itu?”
Rolian merapatkan bibir lalu menggeleng pelan. “Itu, sebenarnya, saya akui saat itu agak kesal dengannya. Saya bertanya apakah dia akan terus menentang tambang, dia bersikap teguh. Itu hanya sebuah adu debat yang tak sampai berapa lama, lagi pula saya juga melihat putrinya naik sepeda tak jauh dari kami. Saya enggak tahu kenapa tiba-tiba saja tergerak melampiaskan marah, saat kebetulan melihatnya pulang dari rumah Mat Daud.”
“Beradu debat?”