Kedatangan mereka ke Balai Desa langsung disambut Dahuri setelah jam makan siang berakhir. Namun Dahuri berkata dirinya hanya punya waktu kurang dari setengah jam karena akan menghadiri penyuluhan di desa lain. Ia memakai baju batik dengan celana panjang, memberi tatapan menyelidik kepada dua pasang mata di depannya.
“Baiklah, langsung mulai saja pertanyaannya. Apa yang ingin kalian ketahui?”
“Tentang almarhum Asyari, selama ini dia banyak melakukan aksi protes,” kata Gustian sambil menarik napas. “Dua nama dari orang-orang yang bekerja dengan Bapak, yaitu Gandu dan Condro, mereka pernah menggedor-gedor rumah Asyari. Saat itu di rumah hanya ada anak perempuan dan istrinya. Salah satu dari mereka kemudian menendang satu pot bunga karena tak kunjung dibukakan pintu.”
Gani memperhatikan bagaimana Dahuri menyimak perkataan Gustian, tak ada tampilan ekspresi tertentu pada wajahnya.
“Mereka melakukannya? Saya pasti lalai selama ini. Kalau tahu tentu saya akan menegur.” Ia berdeham dan bergerak sedikit di atas kursinya. “Tapi, kalian tidak akan sampai melempar tuduhan bahwa penembakan Asyari dilakukan oleh salah satu atau kedua anak buah saya kan? Sejujurnya dibanding kata anak buah, saya lebih menganggap mereka keluarga. Kalian mungkin sudah tahu bagaimana mereka menemani saya sejak lama dari pemilihan kepala desa periode pertama sampai saya kembali terpilih untuk periode kedua. Saya akui terkadang mereka kelewatan, tapi semata-mata tujuan mereka adalah menjaga keteraturan. Sesuatu harus berada di tempatnya sesuai ketentuan.”
“Jadi Bapak tidak pernah menegur orang-orang Bapak?”
“Mereka tidak pernah bertindak kelewatan selain berkelahi, tentu saya memperingatkan agar mereka menjaga kelakuan. Namun sejauh yang saya pahami, tak pernah mereka berlaku kasar jika tak diprovokasi lebih dulu. Selalu ada penyebabnya dan sejauh ini saya merasa bawahan saya belum melakukan hal yang di luar jalur. Sekali lagi, mereka bertindak untuk menjaga keteraturan.” Dahuri mengetuk-ngetuk jari di meja berlapis kaca di depannya. Nada bicaranya tetap datar, tidak menunjukkan emosi.
Kerai jendela ruangan bergerak. Tangan seseorang menggesernya dari celah jendela nako. Orang itu kemudian melintasi sisi luar ruangan, suara langkahnya terdengar mendekat kemari, lalu pintu terbuka. Satu sosok menyeruak. Ia memakai kaos lengan pendek kerah rendah yang menonjolkan otot lengan dan perut bundarnya. Kacamata hitam bulat ala John Lennon itu dinaikkannya ke atas seperti memakai bando. Cincin batu akik selebar bola matanya berjejalan di jemari gempalnya. Beberapa kuku dari jemari itu berukuran panjang dan diwarnai dengan kuteks hitam. Gelang rantai besi turut pula menghiasi pergelangan tangan lalu sepatu kulit berwarna cokelatnya mengilat dan meski tampak bermerek bagus, tetap tak cukup membantu menyelamatkan penampilan noraknya. Gani tak percaya, dirinya menghabiskan beberapa detik hanya untuk menatapnya. Orang ini terlihat seperti tukang pukul di sinetron-sinetron.
“Semuanya, ini yang namanya Gandu,” kata Dahuri memperkenalkan sosok berwajah merengut itu. “Kenapa kemari? Ada apa?”
Gandu melirik wajah mereka berdua bergantian. “Aku mendengar bahwa Bapak kedatangan tamu. Sebenarnya aku enggak bermaksud menguping, cuma penasaran, tapi tadi namaku disebut-sebut. Kupikir sekalian saja aku dilibatkan dalam percakapan ini. Kalian dari lembaga pemerintah resmi?” tanya Gandu dengan nada sok.
Gustian yang menjawab. “Saya dan anak muda ini dari WALHI, organisasi non pemerintah.”
Gandu mengangguk-ngangguk. “Sebenarnya apa yang kalian ingin ketahui?”
“Menyelidiki dalang kematian Asyari, sudah pasti.”
“Lalu, kalian sudah memeriksa seluruh penduduk desa?”
“Tidak perlu sampai seperti itu,” jawab Gustian lagi.
“Jadi kalian hanya mendatangi orang-orang yang berpotensi menembaknya?”
Hening sejenak. Dahuri berdeham, semacam kode untuk mengerem anak buahnya itu. Gandu bersedekap dan bersender ke dinding karena tak ada kursi lagi di ruangan.
“Sebaiknya teruskan pertanyaan-pertanyaan kalian. Sebentar lagi saya harus pergi,” kata Dahuri mengingatkan mereka.