Rawa Pasir

Ahmalia Azmi
Chapter #19

Bab 19 : Padepokan Mihardja

Padepokan itu terletak di selatan desa di satu kecamatan yang dekat dengan wisata perbukitan, sekitar tiga puluh kilometer dari Rawa Pasir. Melewati jalan beraspal yang retak-retak tiap sisi sampai mobil memasuki jalur setapak yang hanya seukuran kendaraan mereka. Rumah penduduk mulai jarang dan hanya berderet di sisi kanan, sementara sisi kiri merupakan rimbunan semak bercampur baur dengan tanaman singkong, pohon pisang, dan gundukan sampah yang baru dibakar.

Plang nama di atas tiang besi terpancang dengan tulisan Padepokan Bulan Sabit. Rumah Joglo itu berdinding papan yang kelapukannya jelas terlihat. Biar begitu pintu depannya terlihat bagus. Gustian menghentikan mobil.

Rencana awalnya begini, mereka berdua akan berpura-pura ingin masuk menjadi murid Mihardja, entah ia seorang pelatih silat atau penyalur ilmu kebal, mereka akan segera memastikannya. Namun setelah menimbang-nimbang, rasanya kepura-puraan itu tidak efisien. Lagi pula mereka berdua juga tak ingin menghadapi kerepotan yang mungkin mereka hadapi. Padepokan ini tak terlacak di Google Map, mereka mendapatkan alamatnya dari mengubek-ubek laman Facebook.

Pukul tiga sore matahari tertutup awan gelap, tanda curah hujan lebat yang segera datang. Padepokan itu terlihat sunyi dan tak terlalu luas. Halamannya berumput pendek dengan batu-batuan. Beberapa pohon pepaya berdiri di beberapa titik di sisi rumahnya.

Pintu rumah itu berderit membuka. Penghuninya cepat menyadari kedatangan tamu di halamannya. Gustian mengarahkan mobilnya ke halaman rumah joglo tersebut.

Mereka segera mendekati undakan tangga dan mendongak kepada seorang lelaki bertubuh pendek berisi dengan tatapan menyelidik. Wajahnya dihiasi kerutan dan jambang beruban. Ia mengenakan tunik hitam yang terlalu pas di tubuhnya serta celana selutut yang tampak tak serasi. Dari sudut matanya, Gani bisa melihat satu dua orang yang duduk bersila di pojok ruangan.

“Selamat sore Pak. Kami ingin berjumpa dengan Pak Mihardja. Beliau ada?”

“Aku sendiri. Ada keperluan apa?”

Dari penampilannya Gani mengira bahwa orang yang ingin mereka temui sedang di dalam, sedang memindai dari celah sempit jendela menakar seberapa potensial calon tamu-tamunya. Ternyata Mihardja yang mereka incar adalah bapak ini sendiri.

“Kami kemari mau izin untuk ngobrol-ngobrol. Kami dari WALHI, badan lembaga perlindungan lingkungan hidup.” Gustian menjeda ucapannya saat melihat satu alis Mihardja yang naik. “Mungkin Bapak sudah mendengar berita kematian seorang petani di desa Rawa Pasir karena ditembak.”

Mihardja menatap mereka satu per satu lalu menjawab, “Kepolisian juga sudah datang kemarin siang. Jadi kalian datang ingin menanyakan Gandu dan Condro bukan?”

Gani melirik Gustian yang segera mengangguk. Kelegaan jelas meliputi mereka karena sampai di tempat yang benar.

“Kami sedang menulis berita tentang ini. Saya harap Bapak mengizinkan kami untuk mengobrol mengenai kedua orang itu.”

Mihardja menyilakan mereka masuk ke dalam. Mereka bergantian menaiki tangga dan masuk ke rumah. Meski dari luar tampak berukuran sedang, ternyata ruangan yang mereka masuki lebih luas. Tidak ada kursi di ruangan. Tiga buah lemari berdiri di sisi selatan berisi buku-buku yang tampak lapuk. Dinding bagian timur berjejer pigura-pigura dengan sosok Mihardja dengan orang-orang. Mereka berempat duduk melingkar dekat dengan ambang pintu yang terbuka.

“Polisi juga menyebutkan dua nama itu. Jadi mereka berdua dicurigai sebagai penembak?”

“Mereka berdua pernah menantang korban karena sikapnya yang berlainan terhadap penambangan,” jawab Gustian.

Mihardja menegakkan punggung lalu menoleh ke belakang seolah baru menyadari dua orang yang berada di pojok ruangan sana belum ia minta untuk menunggunya menjamu tamu lain. Ia lalu berkata, “Tunggu sebentar ya.” Lalu melanjutkan, “Mereka menanyakan seberapa sering dua orang itu kemari. Aku katakan bahwa mungkin sudah lebih dari lima tahun tidak melihat mereka.”

“Berarti dimulai dari mereka direkrut oleh Dahuri saat menjadi kepala desa periode satu sampai kedua, sebagai tim pendukung. Bapak mengenal Dahuri?”

“Itu juga menjadi pertanyaan kepolisian. Aku tak mengenal Dahuri, juga tak tahu bagaimana murid-muridku, lebih tepatnya mantan, bisa sampai menjadi bawahannya. Polisi pergi membawa informasi itu.”

“Apa saja yang mereka berdua pelajari di padepokan ini?”

Hujan telah turun dengan deras, menciptakan suara berisik yang meredam perkataan Mihardja. “Bela diri dan sedikit ilmu kanuragan?”

“Kanuragan?”

“Ya, sederhananya berkaitan dengan supranatural bergabung dengan fisik prima untuk menghasilkan gerakan sistematis. Tapi sebenarnya saat memutuskan berhenti mereka belum menguasai ilmu itu.”

Lihat selengkapnya