Kelompok pedagang dekat jalan masuk utama desa berencana menggalang dana untuk keluarga Asyari. Informasi tersebut diedarkan melalui pesan-pesan grup WhatsApp. Bu Cipta meneruskan kabar itu kepada Alana.
Alana segera saja memasuki pintu belakang, Nuriah tengah melakukan pekerjaannya seperti biasa memotong dadu wortel dan kentang. Pesan itu ditunjukkannya.
Nuriah berhenti memotong, napasnya tertahan lalu ia menatap Alana dengan wajah lebih terang. “Oh, Alhamdulillah,” ujarnya singkat dan melanjutkan menghunjamkan mata pisau ke wortel di atas talenan kayu. “Sebelum adanya pengerukan pasir ini almarhum pamanmu selalu menyuplai ubi-ubi jalar berkualitas bagus untuk beberapa pedagang itu. Bahkan ketika tidak menyalurkan lagi mereka masih menaruh peduli.” Ia terdiam sejenak, tumpukan potongan dadu ia masukkan ke baskom berisi air. “Sejujurnya Bibi mulai bingung bagaimana ke depannya. Bahkan sebelum kepergian pamanmu, kami harus mengetatkan pengeluaran sehari-hari. Tentu saja tidak boleh tak meyakini rezeki dari Yang Di Atas. Hanya saja, rasa kuatir selalu ada.” Nuriah kemudian mendengus dan melirik Alana sekilas, mungkin merasa dirinya agak kelepasan. Alana tahu benar bibinya itu bukan tipe pengeluh soal ekonomi sejak dulu.
Saat hendak kembali, ponselnya berdering. Telepon dari Bu Mariyam.
“Lan, kau bisa gantiin Dwi lusa? Dia harus menemani ibunya yang opname. Di studio ada jadwal sesi foto pre-wedding. Datanglah pukul sebelas.” Dwi merupakan salah satu asisten tetap Bu Mariyam. Rasa semangat mulai menjalarinya meski gaji mendiang ibunya bulan lalu masih belum tersentuh, ia menyadari kebutuhannya melakukan sesuatu yang produktif.
“Ya, baik.”
Secepat sambungan telepon itu berakhir, barulah Alana tersadar. Ini merupakan pekerjaan pertamanya setelah Asyari pergi. Bahwa selama ini pamannyalah satu-satunya yang bisa mengurus Idris selagi ia bekerja. Tak ada pengganti bagi sosok andalannya, namun Alana merasa berat menolak rezeki yang datang di saat kekosongan aktivitasnya.
“Bi, lusa Alana ada kerjaan,” kata Alana. “Apa Bibi bisa mengawasi Ayah? Sebenarnya Lana ingin minta bantuan Rido dan seperti biasa Lana akan kasih upah.”
Nuriah yang sedang mengikis kulit wortel menghentikan gerakannya dan menoleh. “Rido kan sudah masuk sekolah.” Sama seperti Mutia sekolah juga memberi izin untuk libur beberapa hari.
“Maksud Lana, apakah sehabis pulang sekolah Rido bisa membantu Ayah membersihkan diri dan berwudu. Ayah memang perlu dibantu tapi sebenarnya tidak sesulit itu....” Alana mulai terdiam melihat kening Nuriah yang berkerut, terlalu segan untuk menolaknya mungkin setelah Alana memberi kabar menggembirakan mengenai donasi para pedagang.