Rawa Pasir

Ahmalia Azmi
Chapter #24

Bab 24 : Dua Jurnalis

Ada satu berita dengan durasi sepanjang delapan menit yang memuat sepotong masa lalu Dahuri. Ia seorang mantan bandar judi, pernah melanggar hukum, dengan hukuman denda tanpa pernah merasakan dinginnya jeruji besi. Bersama Gandu dan Condro yang merupakan junior-juniornya di satu padepokan bela diri, bertahun-tahun lalu mereka membangun usaha tersebut. Keeratan mereka tidak mengendur karena Dahuri mempercayakan keduanya lagi menjadi tim pendukung untuk meraih kursi Kepala Desa dan yang terutama menerima aliran uang masuk dari pengerukan pasir pesisir selatan.

Ulasan berita itu muncul dikarenakan Gustian memberikan informasi itu pada kawan wartawannya. Berita itu Alana tonton di tengah-tengah Gani meneleponnya lagi pagi ini, sambungan telepon tetap berlangsung selama tayangan berita itu. Setelah ulasan masa lalu Dahuri usai, volume suara televisi itu dikecilkannya.

“Gan, apa menurutmu, kesaksian Paman di masa lalu itu, masih menyakiti Pak Johar, maksudku, dia seharusnya enggak menyalahkan orang lain atas dosa yang dilakukan anaknya,” kata Alana dengan menjaga suaranya tetap rendah. “Itu dendam yang sudah basi kan? Kalau mau melampiaskan kemarahan harusnya dia melakukannya sejak dulu.”

“Om Mat Daud bilang Pak Johar bersikap abu-abu terhadap penambangan atau cenderung mendukung. Mari kita bertahan dengan asumsi awal, seperti yang kubilang sebelumnya, orang yang memperjuangkan lingkungan pasti hidupnya tak aman. Memang betul setidaknya ada empat orang di desa ini yang diketahui memiliki senapan angin yang diperkirakan sesuai dengan peluru di tubuh Paman, calon tersangka menyempit, tapi itu hanya senapan angin yang umum dan tak perlu perizinan segala untuk dimiliki. Yang paling resah dengan aksi penolakan itu sudah pasti pengusaha. Biasanya orang-orang seperti itu akan menyewa orang.”

“Maksudmu semacam pembunuh bayaran?”

Alana membayangkannya lagi, orang yang mendapat informasi mengenai kebiasaan Paman, menunggu dalam kegelapan. Sangat jarang ada yang melewati jalur tersebut pada waktu tertentu selain nelayan dan tak terlalu banyak juga orang di desanya yang berprofesi sebagai nelayan.

“Bang Gustian lagi berusaha mengumpulkan data-data perusahaan apa saja yang memperoleh perizinan pengerukan pasir.”

“Jadi, menurutmu, kita memang sedang menghadapi orang yang bukan dari kalangan biasa?” Pertanyaan naif yang tak perlu diutarakan. Selama ini pamannya memang melawan pihak yang jauh di atasnya. Kepala Desa dan ketua KPRP hanyalah sekedar pion dari penadah, perusahaan besar, pembuat keputusan, segala pihak yang tak terjangkau. Meski masih memikirkan lubang-lubang di tubuh pamannya terjadi akibat dendam yang baru terbalas setelah menunggu tujuh tahun, Alana mulai melihat kenyataan yang suram dari kasus ini, ketidakberdayaan sebagai masyarakat biasa menjegal harapan menuju kebenaran.

“Jangan berkecil hati dulu. Kita akan melakukan apa yang bisa kita lakukan. Kau juga, nanti tanyakan lagi pada bibimu dan Mutia, apakah sedikit pun enggak ada perkataan almarhum yang mengindikasikan dia sedang diancam. Memang kita tahu selama ini Gandu dan Condro pernah datang dengan kasar ke rumah, tapi maksudku, tanda-tanda yang tak sebesar itu....”

Alana menyela Gani. “Bagaimana seandainya Rolian berbohong?”

“Berbohong soal dia beradu debat dengan Paman?”

“Bukan. Tapi saat Pak Sapto bilang Paman akhirnya pergi ke rumah Rolian karena tak tahan menunggu. Paman memang menemuinya dan Rolian menyembunyikannya kenyataan itu.”

“Bagaimana caranya membuktikannya?”

“Aku akan mendatanginya, kalau perlu sekarang,” jawab Alana tanpa jauh berpikir.

“Kau kira dia akan menjawab pertanyaanmu dengan jujur?”

“Kalau dia berbohong mungkin aku bisa menangkap ekspresinya atau pasti dia tak selihai itu berkelit?” Alana sadar betapa sok tahu dan naifnya ia sekarang.

“Hei. Tenanglah. Jangan pernah berpikir mencari jejak pembunuh itu sendirian. Bertindak gegabah tanpa perencanaan hanya akan membuat kita makin tersesat.” Hening sejenak. “Aku sendiri cenderung berkutat pada orang-orang yang telah kita temui dan wawancarai saja. Karena sosok Dahuri, Sapto, Johar, Rolian dan tentu saja Gandu adalah yang paling pro tambang dan harusnya yang paling terusik dengan protes Paman.”

Terdengar suara tukang sayur memanggil dari tepi jalan dekat rumah.

“Kau kapan kemari lagi?” tanya Alana sambil berjalan ke teras dan mengangguk pada si tukang sayur yang kepalanya botak.

Lihat selengkapnya