Perempuan berambut sebahu itu sebelumnya pernah mewawancarai Nuriah. Mutia mengingatnya dengan jelas.
“Ibu masih ingat saya kan, saya Nisa dan kameramen ini namanya Agung.” Mereka berdua bergantian menyalami Nuriah dan juga Mutia. Laki-laki berambut gondrong yang memakai kacamata tanpa bingkai membawa ransel dengan banyak kantong yang diletakkannya di sisi dinding rumah.
Pintu mobil terbuka lagi memunculkan sosok Gani sambil menenteng dua kotak martabak manis, ia memberikan satu kepada Mutia dan berjalan ke tempat Alana. Kotak yang terasa hangat itu dibawanya ke dapur, lalu sepotong martabak isian ketan hitam itu segera dilahapnya. Kemudian ia berbalik lagi mendampingi ibunya menerima tamu sambil mengelap mulut dengan punggung tangan.
Nisa menanyakan apakah malam ini Nuriah akan mengerjakan kegiatannya memotong isian gorengan, ibunya terdiam sejenak. “Boleh saja. Tapi dapurnya agak berantakan,” sahutnya. Mutia tahu itu gaya sambutan rendah hati yang biasa ditampilkan Nuriah.
Dapur sudah dibereskan sore tadi, debu-debu di sudut rumah sudah dilap dengan kain lap basah, motor mereka diposisikan merapat ke sudut, berdekatan dengan dua goni berisi perkakas karatan, hingga ruangan itu tampak lebih luas dari biasanya. Ibunya sudah mengambil tindakan jaga-jaga seandainya ruang dapur akan disorot.
“Mau ikut direkam enggak?” tanya Nisa tiba-tiba, lirikannya tampak merayu.
“Enggak dulu Kak,” jawab Mutia tanpa merasa perlu berpikir. Langkah-langkah pelan datang dari belakang, Rido yang baru selesai dari kamar mandi menyalami para tamu.