Rawa Pasir

Ahmalia Azmi
Chapter #27

Bab 27 : Makan Mi Ayam Bersama Yoda

Mereka bertemu di satu kedai mi ayam saat matahari mulai tak terlalu mengganas. Kedai itu berada di pinggir jalan, berseberangan dengan masjid kota. Kedai dengan dinding bambu setinggi satu meter itu hanya diduduki beberapa pelanggan. Lambaian tangan Yoda terlihat, begitu Alana menapakkan kaki lebih dulu pada lantai papan kedai yang berderak. Ia duduk di barisan meja ke sepuluh, paling ujung, tanpa manusia lain pada meja di bagian seberang dan depannya.

Setelah memesan dua mangkok mi ayam jamur kepada tukang masak, Alana dan Gani segera mengenyakkan diri pada kursi kayu yang memanjang. Mata Gani melirik lagi ke sekeliling, ia membuka mulut dan bukan kalimat basa-basi yang keluar.

“Kenapa kau masuk lembaga yang mengurus pertanian desa?” tanya Gani. “Apa kau juga bertani?”

Yoda mengedikkan bahu. “Pamanku mengajakku bergabung, lembaga KPRP juga diberi wewenang mengelola lahan di sekitar hutan oleh Pemkab. Aku ikut mengurus pembibitan dan segala macamnya. Kalau kau mau bergabung juga bisa sekarang, apalagi kau seorang aktivis. Pasti enggak masalah dengan pendapatan dari bagi hasil antar anggota.”

Pesanan mi ayam milik Yoda tiba di meja. Ia mengambil setengah sendok cabai rawit halus dari stoples kaca di sebelah kotak tisu. Lalu meraih botol kecap dan mengarahkan ujung berlubangnya ke mangkok, semakin menggelapkan kuahnya yang memang sudah diberi kecap. Wangi kaldu menguar seiring mi tersebut diaduk-aduknya.

“Kalau bergabung, aku pasti bakal terus-terusan rewel mengenai tambang dan ujung-ujungnya keluar,” sahut Gani sambil melirik Alana sepintas. “Kau baru-baru saja bergabung kan?”

“Sejak penambangan pasir dimulai dan Paklik butuh satu orang yang ia percayai. Kami juga baru-baru ini coba-coba membudidayakan lebah madu.”

Kali ini pesanan mi ayam keduanya yang datang. Potongan daun bawang dan jamur yang melimpah seharusnya menerbitkan liur, namun Alana tak terlalu lapar ditambah benaknya yang tak sabar menggali sosok Rolian. Yoda menunjuk mangkoknya dengan dagu.

“Mungkin harusnya kita ngobrol di kedai kopi, tapi yang tempatnya bagus dan bisa bersantai lokasinya lebih jauh. Lagi pula mi ayam di sini lebih lezat dibanding kedai mi sekitar.”

“Mas punya kesan yang enggak baik terhadap Rolian. Bisa tolong lebih dijelaskan?”

Setelah menyesap es tehnya Yoda menarik napas sejenak. “Kalian ini sudah kayak wartawan investigasi ya, ngotot mencari informasi.”

“Kami memang sedang membantu wartawan membuat tayangan investigasi,” sahut Gani. “Punya masalah pribadi dengannya ya?”

Ponsel yang ditaruhnya di meja berdengung, Yoda membalikkan ponsel, menatap layar dan telunjuknya mengetuk hingga suara itu menghilang. Ia masih terdiam beberapa saat sebelum menggeleng. “Paling-paling aku mendengar dia suka berhutang pada anggota lain dan selalu susah melunasinya tepat waktu. Dia mungkin pernah melakukan sedikit penggelembungan daftar belanja pupuk yang didiamkan Paklik saat aku belum masuk. Tapi aku juga enggak mau mengungkit-ungkit hal itu.”

“Kalau begitu, kenapa dia masih dipertahankan?”

Yoda mengedikkan bahu. “Aku juga pernah menyarankan hal itu, tapi Paklik agak permisif, mengatakan yang dilakukannya masih terkendali. Yah, selain dua hal tadi enggak ada hal lain lagi sih.”

“Rolian itu, bagaimana sikapnya terhadap penambangan pasir?” tanya Alana.

“Tentu dia setuju-setuju saja, jujur saja lembaga kami memang mendapat komisi lumayan, itu bukan rahasia. Dia bisa dapat uang saku dan tak mengalami kerugian. Tanpa mengurangi simpatiku, sebenarnya kami pikir pamanmu akan menerima ganti rugi lahan, membeli tanah lain untuk ditanami dan menerima sedikit hasil pasir.”

“Paman Asyari berpikir jauh dan lebih mementingkan kerusakan yang mengancam pantai,” kata Gani dengan datar.

Yoda meneguk minumannya hingga gelas itu hanya menyisakan beberapa potong es. “Aku enggak akan berdebat dengan aktivis lingkungan hidup. Ngomong-ngomong, bagaimana perkembangan kasusnya?” Ia melirik mereka berdua bergantian.

Lihat selengkapnya