Kabar kematian Ubai, laki-laki berusia empat puluh empat tahun, mereka dapat karena saat memasuki jalan desa, bersisian dengan kedatangan ambulans, ada dua orang bapak-bapak yang mengarahkan dan Gani sempat menanyakan untuk siapa ambulans milik tim forensik kepolisian resor itu datang.
Kedatangan mereka pun bersamaan dengan datangnya ambulans. Tubuh Ubai ditelentangkan di lantai pondok. Agung dengan sigap memotret sebelum ada yang menegurnya. Tampak memar di bagian pelipis. Rolian sedang duduk tak jauh dari dua petugas yang mengitari tubuh Ubai di atas bangku lantai pondok. Ia basah kuyup dan meski wajahnya juga ditimpa seberkas cahaya jingga langit petang, tak dapat menyamarkan kulitnya yang memucat. Petugas segera membawa tubuh Ubai ke dalam mobil.
“Apa yang terjadi dengan Pak Ubai?” tanya Gani pada Rolian sambil berjongkok.
“Aku baru saja dari hutan, bertemu dengan petani-petani. Karena sudah lama tidak lihat matahari terbenam jadi kepingin naik ke tebing sini. Eh, enggak tahunya ada Ubai di ujung, berdiri sambil berkacak pinggang, sendirian. Aku memanggilnya dan dia menoleh, entah kenapa sepertinya dia berdiri agak terlalu menjorok, lalu sekonyong-konyong dia terpeleset jatuh ke dekat pinggir, bahkan kepalanya sempat terbentur di bebatuan pinggir, aku mendekat dengan setengah berlari dan tiba-tiba dia meluncur begitu saja, bahkan tak sempat berteriak.
“Setahuku dia bisa berenang, jadi aku tak terlalu panik, sambil melirik sekeliling. Ternyata saat itu dia kesulitan naik ke permukaan, air memang agak bergelombang, lalu aku turun dan berlari ke dekat wilayah penambangan. Tidak ada polisi di dekat pantai, mereka berada dekat pondok. Aku langsung berteriak minta tolong. Ada pemilik pondokan yang memilik perahu mesin dan kami segera mencari. Perairan di bawah tebing itu kalau tak salah punya kedalaman dua meter dan dia sudah tidak bergerak di dasar.”
Nisa berkomentar pelan. “Paha Pak Ubai terkena sengatan lebah, aku melihatnya sendiri berjalan kurang seimbang.”
“Siapa yang menyelam dan mengangkatnya ke perahu?”
“Aku dan satu polisi itu.”
Gani melirik sekilas satu polisi yang sedang menelepon itu juga basah kuyup seperti Rolian. Nisa kemudian meminta Rolian untuk melakukan wawancara.
Tebing setinggi lima meter itu berjarak tak sampai seratus puluh meter dari areal pengerukan pasir yang masih diberhentikan. Saat mereka sampai, dua orang petugas memasang wajah ketat menjaga area ujung tebing. Di hari minggu ini hanya ada tiga petugas yang berjaga pada wilayah penambangan. Pemandangan terbenamnya matahari ditambah deru air di bawah tebing mereka berdiri terasa ganjil. Kulit-kulit mereka ditimpa cahaya oranye dalam suasana murung. Rolian kemudian menunjukkan di bagian tepian mana Ubai terbentur dan jatuh. Agung memotret bagian-bagian tebing setelah diberi izin kedua polisi, lalu mengeluarkan ponsel. Setelahnya, Nisa dan Agung menyiapkan diri untuk memberitakan kejadian ini secara langsung.
***
Kecelakaan naas itu segera bergulir menjadi spekulasi yang mempertanyakan, betapa kebetulannya ada satu orang saksi yang menyaksikan kejadian tersebut tepat di depan mata, sementara ketiga polisi penjaga sedang bersantai di pondok, hingga pemandangan tebing yang dapat terlihat dari garis pantai itu terlewatkan, begitu saja. Ketiga polisi, yang diwakili Kepala Humas Polres mengatakan kepada awak media, saat itu telah lewat masa tugas mereka mengawasi penambangan sehingga wajar tak ada yang berada di dekat pantai.
Karena dalam rentang waktu kurang dari dua minggu terdapat dua kematian yang menimpa anggota KPRP, para pengamat kriminal yang diundang televisi menebarkan pandangan dan pendapat. Pemberitaan dua petani Rawa Pasir yang meninggal dengan latar desa yang pasirnya dikeruk muncul di semua pemberitaan stasiun televisi. Hingga mengakibatkan Polda Jawa Timur mengambil alih kasus jatuhnya Pak Ubai dan Asyari, kurang dari dua belas jam semenjak kabar itu disiarkan pertama kali oleh Nisa dan Agung. Agung mengirimkan file bidikan kameranya kemarin. Ia dan Nisa kini berada di Surabaya.
Gani mengabaikan roti goreng yang dihidangkan Alana, laparnya belum datang meski ia melewatkan jam sarapannya.
“Coba lihat, foto tebing ini dan lukanya.” Gani menghadapkan layar tablet ke arah Alana. Layarnya menampilkan dua gambar tebing dan luka Ubai. Pada bagian bebatuan di tepian tampak dua percikan darah ukuran kecil.
“Lihat ada yang aneh?”
Alana makin memperbesar bagian luka dan juga tepian tebing. “Menurutku memang aneh. Lukanya memang tidak parah tapi darah yang di bebatuan itu mestinya lebih dari ini.”
“Aku mencoba menghitung, dari tebing ke arah pondok. Dengan berlari aku bisa mencapai waktu satu menitan. Aku sempat bertanya pada pemilik perahu mesin, kira-kira sejak Rolian datang meminta tolong berapa lama sampai mereka mempersiapkan perahu untuk menemukan Ubai, dia mengira-ngira waktu itu pasti setidaknya beberapa menit saja, mungkin lima menit sedikit. Aku baca artikel tadi, orang yang tenggelam biasanya meninggal setelah paru-paru menghirup air selama empat hingga enam menit tanpa resusitasi. Jadi waktunya sangat sempit, apalagi cedera di kepala dan pahanya yang juga disengat lebah, dia jadi sulit berenang.”
Sulit menerima bahwa yang dialami Ubai semata-mata diakibatkan karena kecelakaan. Tanpa mengucapkan isi kepalanya keras-keras, Gani yakin Alana pun melihat betapa kebetulannya Ubai terbentur batu lalu tercebur. Dikatakan dari seorang saksi mata yang tak disangka-sangka.
“Aku bakalan menemui Pak Sapto lagi. Rolian bilang dia habis dari hutan, bersama para anggota KPRP lainnya, sebelum pergi ke tebing untuk melihat matahari tenggelam. Aku pinjam motormu.”
***
Semula Gani mengira akan mendapati pewarta berita di kediaman Sapto. Namun laki-laki itu sedang sendirian di dekat tanaman berpagar depan kantor KPRP, ia tampak tersentak karena sedari tadi tampak melamun.
“Oh, nak Gani, kirain siapa. Ada apa?”
“Mengenai Pak Ubai. Pasti Bapak mendengar bagaimana dia bisa terjatuh kan?”