Rawa Pasir

Ahmalia Azmi
Chapter #31

Bab 31 : Sebuah Rencana

“Aku enggak cerita bagianmu. Tapi kesimpulannya kalian sama-sama merasa bersalah.”

Alana menelan ludah setelah Gani menceritakan cerita Yoda, tak punya tanggapan selain ingatannya kembali menyentuh momen ia yang menyerahkan secarik kertas tagihan pada ibu Debi.

“Yoda juga cerita kalau, istrinya Pak Ubai enggak terlalu percaya dengan kesaksian Rolian, dia masih punya hutang dengan Pak Ubai, sekitar dua jutaan, yang selalu diundur-undurnya kalau Pak Ubai menagih.”

Alana menahan napas. Informasi ini jelas menyudutkan cerita kesaksian Rolian. Kejadian yang sebenarnya hanya Rolian dan Tuhan yang tahu. Mungkin mereka bertengkar, mungkin ada tangan yang tak sengaja mendorong lalu tak mengetahui bagian kaki yang lembam karena disengat lebah.

Gani mendengus. Keringat mengucur dari keningnya. “Aku balik dulu ke tempatku.” Ia bangkit dari teras setelah mengembalikan kunci motor pada Alana. “Oh, Nisa dan Agung bakalan meliput lagi di sini, sore nanti saat pemakaman Pak Ubai.” Ia memakai sandalnya. “Siapa sangka akan jadi begini. Kalau memang benar hal itu bukan kecelakaan....” Gani masih membuka mulut, tampak akan melanjutkan kalimatnya namun urung dilakukannya. Namun Alana bisa mendengar kata-kata itu berdengung di kepalanya. Rolian memang merupakan kunci semua tragedi ini.

***

Alana yang sedang duduk di teras bersama Idris segera bangkit berdiri melihat kedatangan Aipda Krisna. Ia memakai topi dan mengenakan jaket kulit, mukanya basah karena hujan gerimis.

Krisna datang dengan wajah yang tampak kurang tidur. Kini ia bergabung dengan tim bentukan Polda dan beban untuk mengurai kekusutan kasus mulai berdampak jelas pada penampilan fisiknya. Kantong matanya tampak jelas dan sesekali saat mengajukan pertanyaan pada Nuriah, ia menggaruk tengkuk.

Dua kali menjadi perhatian di dua tragedi, menggiring Rolian untuk digali keterangannya di Polda. Kabar itu menjadi kalimat pembuka yang disampaikan Krisna dengan nada datar. Ia mungkin sudah bosan menanyakan pada Nuriah mengenai sesuatu yang mencurigakan dan tak biasa sebelum kematian Asyari. Namun ia tetap mengajukannya dan bibinya lagi-lagi menggeleng dengan raut hampa.

“Apakah ada harapan pelakunya bakal ketemu?” tanya Nuriah. Nada putus harapan itu terdengar. Tak ada jawaban segera dari mulut Krisna. Ia membalik lembar-lembar buku saku yang dipegangnya.

“Pak, apa boleh saya menyampaikan sesuatu?”

Krisna mendongak dengan alis kanan yang dinaikkan. “Apa itu?”

“Mengenai penyempitan nama yang paling mungkin mencelakai Paman, yang memiliki senapan angin di desa ini, dan yang paling tak menyukai sepak terjangnya menentang tambang. Dahuri, si Kepala Desa dan ini juga termasuk dua tangannya yang setia si Condro dan Gandu. Sapto si Ketua KPRP, Rolian anggota KPRP, lalu...Johar pemilik usaha keripik ubi yang rumahnya paling dekat dari sini dibanding yang lain.

“Bapak memang belum pernah menyampaikan siapa-siapa saja orang-orang yang dicurigai dan dipantau. Pertama....” Alana melirik Nuriah. “Setidaknya berikan kami sedikit apa saja yang sudah dilakukan bahkan meski itu pendapat Bapak sendiri. Misalnya, korek api gas itu, kami belum dapat penjelasan mengapa benda itu bisa berada di dekat tubuh Paman.”

Krisna masih menampilkan wajah tanpa ekspresinya. “Condro tentu masih dalam pengawasan. Korek api gas itu diakuinya sebagai miliknya sendiri. Tapi, benda itu pun bisa menampakkan niat si penembak. Korek gas itu berada sekitar dua meter dari tubuh korban. Dengan perkiraan posisi pelaku menembak dari arah berlawanan, dan memposisikan korek seperti ingin mudah terlihat, kemungkinan besar maksud pelaku adalah agar kepolisian berfokus mencari siapa pemiliknya.”

Tenggorokan Alana tersekat sejenak. Ia memang melewatkan foto-foto di TKP. Korek api gas itu memang tak mungkin berasal dari pamannya. “Dengan kata lain pelakunya menjebak si Condro?”

Lihat selengkapnya