Pertimbangan mereka bertiga berjalan kaki menuju Balai Desa satu setengah jam menjelang tengah malam dan bukannya merayap di bawah langit pekat dini hari, adalah di jam tersebut jalanan sudah relatif sunyi. Jika terpergok di atas jam tengah malam, mereka akan susah berkelit dari dugaan melakukan suatu hal yang tak wajar.
Telapak tangan Gani berkeringat meski udara dingin menyelubung. Mereka telah berjalan selama lima belas menit dari rumah Alana sambil menjaga jarak, agar tak menarik perhatian. Melangkah tanpa bimbang, Nisa maju duluan dan berjalan memutar. Gani memutar leher, memastikan dari sinar lampu tiang-tiang listrik tak ada sepasang mata yang tertarik dan mengawasi. Di depannya Agung mengikuti Nisa, mereka berdua demikian kompak, memakai jaket bertudung berwarna gelap dan Gani sendiri yang memakai kaos lengan pendek, dipaksa Alana untuk memakai kardigannya yang berwarna dongker dengan bau khas sabun colek, agar lebih terkamuflase di keremangan malam.
Jendela-jendela berpanel kaca menampilkan bayangan samar ruangan dalam pada sisi bangunan yang mereka lewati. Bau tak sedap dari tempat pembuangan sampah menyergap indra penciuman ketika mereka bergerak ke bagian belakang bangunan dan mendekat ke pintu yang dituju. Tembok rendah mengelilingi bagian belakang bangunan, rumah-rumah di seberang mereka senyap dan gelap. Hanya terdengar suara geraman kucing di kejauhan dan juga sesekali gonggongan anjing. Agung mengeluarkan ponsel dan menghidupkan senter. Kemudian terdengar derak dari kawat serta ujung gunting di lubang gembok yang diputar-putar. Semenit dua menit berlalu tanpa hasil.
“Ah, sialan,” umpat Nisa dengan suara berbisik. Gonggongan anjing menyahut sayup-sayup. Namun semakin lama gonggongan itu terdengar makin dekat. Kawat yang dibentuk sedemikian rupa dan gunting kini berada di tangan Agung, suara derak di tengah keheningan sepertinya akan terdengar sampai depan bangunan.
Gani yang memang bertugas berjaga bergerak beberapa langkah, memutar kepala melihat ke depan. Ia tersentak ketika seekor anjing kampung berada di depan sudut bangunan beberapa meter dari jaraknya berdiri, separuh badannya terlihat, lalu suara laki-laki yang mengusirnya menggelegar. Anjing itu tersentak, namun hanya mundur selangkah, menampakkan kepala dan sepasang mata yang memantulkan sinar. Cahaya senter menari-nari di tembok kanan. Ketika wajah anjing itu berpaling diiringi seruan marah lagi, tanpa mengulur waktu Gani segera mengangkat kaki, Nisa dan Agung juga menyadari kemungkinan mereka bakal kepergok oleh si penghardik anjing.
Secara spontan mereka bertiga berlari ke arah tembok tersebut dan memanjatnya. Gani yang melihat Nisa kesusahan membantunya dari balik tembok. Kepanikan tadi segera kembali mereda saat si pemegang senter berjalan lambat memeriksa kegaduhan akibat pelarian sekejap tadi. Gani segera menunduk ketika senter itu tampak akan diarahkan ke tembok. Sambil merunduk mereka berjalan ke arah rumah warga. Menyelip di antara celah di antara rumah yang dibangun rapat satu sama lain. Tak ada penerangan berarti jadi Gani harus menajamkan mata dan menahan dengusan napas. Mereka akhirnya sampai di jalan kecil.
“Kapan penjaga itu ada? Bukannya penjaga malam baru mulai bekerja pas tengah malam? Padahal tinggal sedikit lagi.” Nada keluhan terdengar jelas dari Nisa. Merek berjalan di tengah kesunyian dan lampu-lampu depan deretan rumah menyumbang penerangan seadanya. Mereka menghidupkan senter pada masing-masing ponsel sendiri untuk menerangi aspal.