Setengah jam setelah Alana mengirimkan pesan terkait kecurigaannya, Gani segera tiba di rumahnya. Alana tahu pemuda itu sebenarnya berencana pulang ke Surabaya, namun dugaannya harus diberitahunya sesegera mungkin mengenai nomor telepon Yayasan Golden Kontan. Tempat dia menginap memiliki telepon kabel yang akan menghemat biaya pulsa.
“Kontan itu kepanjangan dari konservasi hutan, mereka lembaga yang juga bekerja sama dengan pemerintah. Rutin menyalurkan dana hibah pada lembaga kecil yang bertanggung jawab mengolah hasil hutan. Aku jadi teringat percakapan dengan pamanmu saat kami menengok Bang Malik. Sepertinya ada dana sembilan puluh lima juta rupiah yang disalurkan. Tentu aku memperkenalkan diriku lebih dulu dan dia bisa melihat profilku di website WALHI jadi dia bersedia memberitahukan rincian mengenai laporan balik yang diberikan KPRP. Pembiayaan pembibitan kayu putih, biaya pelatihan beternak lebah, pembangunan penyimpanan madu, pembelian pupuk, pembangunan sanitasi di sekitar dekat hutan, dan perbaikan jalur lintas petani.”
“Dia tak bersedia merinci hal yang berkaitan dengan jumlah dan harga. Tapi tak masalah juga, karena dia menyebutkan jumlah uang yang dihibahkan itu, senilai dua ratus delapan puluh lima juta rupiah. KPRP merupakan salah dari dua lembaga bagian Jawa Timur yang mendapat bantuan, dan aku sudah berpesan untuk jangan dulu menghubungi pihak KPRP Karena ini mungkin berkaitan dengan pembunuhan salah satu anggotanya.”
Mendengar Gani mengucapkan kemungkinan yang terdengar sebagai kenyataan mengapa pamannya dibunuh bagai tusukan.
“Aku mau ke tempat Bang Malik dulu. Kau mau ikut apa enggak?”
“Kenapa memangnya dengan Bang Malik?”
“Ada yang mau kutanyakan. Mengenai kejadian pemukulan waktu itu.” Kilat semangat tampak di kedua bola matanya.
“Ya, aku ikut,” jawabnya tanpa menunda waktu. Ia beranjak ke rumah sebelah, mengatakan pada Rido yang baru pulang sekolah untuk mengawasi rumah dan ayahnya sebentar.
***
Alana lebih dulu menjelaskan siapa Gani, karena sewaktu ia datang bersama Asyari setelah insiden pemukulan, Malik dalam keadaan setengah sadar.
“Ketua KPRP yang turut meloloskan izin pertambangan, apa tak pernah ada masalah, sementara di satu sisi Abang ikut menentang tambang.”
Malik menggeleng. “Enggak ada masalah. Sapto memakluminya dan bilang penolakan seperti itu wajar saja terjadi.”
“Insiden perkelahian waktu itu, sebenarnya apa yang terjadi?”
Malik terdiam sejenak. “Waktu melihat Sapto di kedai, kukira saat itu adalah waktu yang tepat aku membicarakan dengan santai masalah ganti rugi, ketika tak ada anggota petani hutan di situ. Ternyata ada empat orang anak buah Pak Kades sedang duduk di pojok kedai. Condro sepertinya sedang bicara dengannya, ketika aku mendekat, dia menjauh. Aku duduk di sebelah Sapto dan mulai menyampaikan maksudku dengan suara pelan. Sapto malah mengarahkanku untuk langsung saja bicara dengan Pak Kades, mumpung ada anak buahnya di situ sekalian saja bicara dengan mereka. Aku tak terlalu ingat detailnya dan insiden itu terjadi.”
“Sebelum Abang mendekat Condro bicara dengan Sapto?”
Malik mengangguk.
“Ada sesuatu yang Abang dengar dari pembicaraan mereka?”
Kening Malik mengernyit lalu ia menggeleng pelan. “Condro langsung pindah posisi duduk ketika menyadari aku mendekat, jadi tidak mendengar apa....” Malik kemudian terdiam sejenak. “Sepertinya aku memang menangkap sesuatu, aku sempat mendengar ‘mengundur waktu’ atau semacamnya.”