Rawa Pasir

Ahmalia Azmi
Chapter #35

Bab 35 : Mengejar Jejak

Gani menderakkan sendi-sendi jemari, menggosok-gosok paha, punggung lebih tegak. Semangatnya membuncah.

“Sekarang kita sudah menemukan satu bukti, lalu sebuah masalah motif. Kita harus menghubungi Krisna. Akses ke rekening pribadi, pinjaman uang di bank. Hal yang seperti ini tak mungkin dijangkau warga sipil macam kita. Ada dana hibah yang besar kemungkinan dikorupsi KPRP.

“Tadi aku ke kedai kopi tempat Bang Malik dipukul anggota Pak Kades. Aku bertanya tentang kejadian itu ke pemiliknya. Dia seorang bapak paruh baya yang berlangganan koran dan doyan mengobrol. Dia enggak kesulitan mengingat kejadian itu termasuk percakapan yang didengarnya sesaat sebelum Bang Malik masuk ke kedainya.” Gani terdiam sejenak. “Condro sedang menagih hutang pada Sapto.”

“Hutang?”

“Bisa dipastikan hutangnya kepada Pak Kades. Si pemilik kedai cukup yakin akan hal itu. Sapto minta pengunduran waktu. Dia tidak berpikir bahwa ini informasi yang terhubung dengan kasus, apalagi pihak kepolisian memang tidak mendatangi dirinya.”

Alana meraih ponsel, menggulir layar dan melakukan panggilan ke nomor kontak Krisna.

Gani melirik ke rumah Asyari. Rido berdiri di teras, sepertinya ia sudah menyimak cukup banyak. Raut mukanya mengeruh, bibirnya mengatup rapat. Seolah diberi kode, ia masuk ke dalam, memanggil ibunya dengan suara tercekat.

Krisna datang sekitar lima belas menit kemudian. Setelah mereka menceritakan penemuan mereka, ia berkata akan pergi menemui Kepala Desa.

“Aku sudah pernah berbicara dengannya, sebenarnya teman kami yang wartawan pernah melihat sesuatu dokumen di laci, sepertinya berkaitan dengan daftar penambang dan aliran dana.”

Krisna tampak bimbang sejenak. “Harus ada surat izin penggeledahan dan untuk itu pun harus ada penyelidikan lebih dulu mengenai masalah tambang. Memang sudah lama dicurigai ada batasan pengerukan yang dilanggar.”

“Aku ikut Pak,” kata Gani.

Biarpun tampak enggan, mungkin karena Gani seorang warga sipil, akhirnya ia mengiakan. Gani mengulurkan tangan, meminta kunci motor pada Alana.

Panas matahari lebih memudar karena telah menuju sore. Dengan laju cepat keduanya segera sampai di dekat pendopo Balai Desa. Terbukanya pintu ruangan Kepala Desa memudahkan mereka masuk tanpa mengetuk pintu. Wajah Dahuri terangkat, pandangannya terpaku selama beberapa saat kepada dua sosok, satu polisi dengan seragam biasa dan pemuda Surabaya yang terlalu sering menghabiskan waktu di desanya. Menyadari suatu desakan dari kemunculan mereka begitu saja, seorang perangkat desa yang juga berada di situ disuruhnya keluar.

“Ada apa?” tanyanya begitu pintu tertutup. Ia bahkan tidak menawari mereka duduk.

“Apa Sapto memiliki hutang kepada Bapak?” tanya Krisna tanpa basa-basi.

“Kenapa tiba-tiba bertanya begitu?” Dahuri menatapnya datar.

“Saat saudara Malik dipukul, kedua anggota Bapak yang juga berada di kedai kopi yaitu Gandu dan Condro, mereka berdua sedang menagih hutang yang Bapak berikan bukan?”

Dahuri menyandarkan tubuh ke kursi. Satu tangannya mengetukkan jemari di meja. “Ada apa ini sebenarnya?”

“Hanya memohon kerja sama Bapak sebagai pemimpin desa.”

“Sesuatu semacam apa?” Dahuri menatap mereka bergantian dengan tatapan waspada. “Hutangnya merupakan urusan pribadinya denganku. Apakah maksudnya pihak yang berwajib berkenan menagihkan hutangnya tersebut?” Napasnya mendengus kemudian ia menggeleng perlahan. “Apakah ini berkaitan dengan kasus pembunuhan Asyari? Lalu apa hubungannya dengan hutang Sapto?”

“Mungkin iya, mungkin juga tidak. Berapa jumlah hutangnya?”

“Tak sampai lima puluh juta. Awalnya dia berhutang sekitar delapan puluh juta kemudian melunasi separuhnya pada bulan lalu.”

Lihat selengkapnya