Sejak mewarisi beberapa petak sawah dan lahan kosong, aku sebagai anak pertama memutuskan meninggalkan pekerjaan sebagai karyawan bongkar muat di pelabuhan dan kembali ke desa. Kepindahanku sepuluh tahun lalu juga dikarenakan bahwa aku tak tega membiarkan ibuku mengelola lahan yang ada sementara ia juga mulai sakit-sakitan. Tapi, memiliki lahan penghasil ubi jalar memang menguntungkan sampai aku bisa membeli lahan yang lain. Kami sudah punya tenaga kerja yang setia dan cekatan. Aku juga terjun dalam kegiatan kemasyarakatan dengan mendirikan Kesatuan Petani Rawa Pasir yang kemudian menjadi lembaga yang diakui di bawah pemekaran kabupaten yang baru.
Ibuku meninggal sekitar enam tahun lalu, saat anak sulung perempuanku, Meira baru masuk perguruan tinggi dan anak bungsuku laki-lakiku baru lulus SMP. Sekalian saja aku ingin meminta maaf kepada mereka berdua karena telah mengecewakan mereka berdua, dan juga tentunya istriku, Halwa.
Tahun-tahun yang sulit datang sejak tiga tahun yang lalu. Aku masih berhubungan dengan teman-teman saat di pelabuhan. Ada dua teman yang mendekati dan berkata bahwa mereka sedang memperoleh hasil manis dalam investasi mereka di perusahaan penerapan nanoteknologi. Kalau mengingatnya lagi, aku bahkan tak tahu apa yang mereka bicarakan. Tapi saat itu aku begitu tertarik dengan nominal keuntungannya, mereka membeli saham perusahaan itu lewat jalur orang dalam, hingga harga beli per lotnya jauh lebih murah ketimbang di pasar reguler. Aku menggunakan hampir seluruh tabungan untuk dana setoran awal. Tiga bulan mereka bilang harga jual di pasar reguler akan dinaikkan. Namun bahkan setelah enam bulan kemudian, kedua temanku itu mendadak tak bisa dihubungi dan dilacak lagi.
Didirikannya penambangan pasir di pantai Celepuk setelah penjajakan dan dengar pendapat adalah keputusan yang melegakan. Harga ubi yang sering tak stabil dan beberapa tenaga kerja yang lebih memilih menggarap lahan sendiri menjadi tantangan setelah kehilangan uang yang begitu telak untuk orang sepertiku. Asyari yang kebun ubinya terkena dampak negatif penambangan pasir menggerakkan petani-petani lain di sekitar pesisir untuk sama-sama menyuarakan penolakan. Sikapnya yang sulit dibujuk, jujur saja mulai meresahkan, tapi hal yang paling membuat aku tak bisa menahan diri adalah saat sehari setelah perlombaan, barulah aku menyadari kehadirannya yang cukup aktif di lembaga selama seminggu terakhir. Dia bilang berencana menghubungi pihak Yayasan Golden Kontan langsung untuk mengadukan penggelapan dana hibah tersebut.
Entah sejak kapan dia menyelidikiku. Dia memutuskan membicarakan hal ini lebih dulu, menawarkan agar aku untuk bersikap jujur dan mengembalikan dana untuk hal-hal yang memang tertulis. Ditambah permintaannya agar aku mau memperjuangkan revisi perizinan tambang.