Kenangan ibarat lembaran buku usang yang tersimpan rapi di album kehidupan. Kenangan indah, manis, pahit atau pun buruk semuanya menempati ruangnya masing-masing di relung kalbu anak manusia. Ia melekat erat di benak, seperti segumpal parasit yang sulit dihapuskan sekalipun kita berusaha kuat membuangnya. Karena ia sejatinya bagian dari perjalanan hidup yang terus membayangi. Tak ada yang bisa mengingkari sebuah kenangan. Yang bisa dilakukan hanyalah menerima dan menyikapi kenangan itu agar tak jadi beban sekaligus penghambat langkah ke depan.
Itulah yang dirasakan Wiwin ketika dia harus kembali ke kampung halaman. Sebuah kota kecil di pelosok timur wilayah Jawa Tengah. Wanita tigapuluh tahun itu memiliki banyak kenangan di tanah kelahirannya yang sudah sepuluh tahun lebih ditinggalkan. Banyak kenangan manis dan indah yang masih melekat di renung ingatannya. Tapi juga ada satu kenangan pahit yang sampai saat ini tak bisa dilupakannya. Bahkan kejadian pahit masa lalu itu yang memaksanya pergi meninggalkan desa kelahiran. Memutuskan hubungan dengan orang-orang tercinta, ayah-ibu, saudara, dan sanak kerabat. Bukan karena ia benci mereka, tapi jiwanya yang masih rapuh saat itu ingin berusaha menghapus kenangan buruk itu.
Wiwin lalu pergi merantau ke Jakarta ikut buliknya, adik dari ibunya. Di sana ia mulai membangun mimpi baru. Meneruskan kuliah, menjadi guru, dan juga menikah dengan pria yang mau menerima dirinya apa adanya. Perlahan namun pasti Wiwin mampu menghapus kenangan buruk itu, mengikisnya agar tidak hadir lagi di lemari ingatan dan alam mimpinya saat tidur malam. Wiwin sempat bersumpah tidak akan kembali dan menginjakkan kaki lagi di tempat ia lahir bertumbuh kembang hingga usia remaja. Untuk melampiaskan rindu pada orangtua dan saudara-saudara di kampung, Wiwin cukup menelepon atau bervideo call. Atau terkadang mereka yang mengalah mengunjunginya di kota.
Pernah Wiwin mengingkari sumpahnya karena dipaksa oleh suatu keadaan yang mengharuskannya kembali ke rumah masa kecilnya, yakni saat ayahnya meninggal dan adiknya menikah. Selebihnya bisa dihitung dengan jari satu tangan sekurun waktu sepuluh tahun dia menginjakkan kaki di kampung halamannya. Semua semata karena ia tak ingin diingatkan lagi dengan kenangan buruk di masa lalu. Begitu pahit dan berat kenangan itu hingga sempat membuatnya trauma dan depresi. Segala hal yang berhubungan dengan kota kecil tempatnya dulu dibesarkan sangat dibencinya. Bahkan ia berusaha menutup komunikasi dan pertemuan dengan teman-teman masa sekolahnya dulu, karena ia tidak mau hal itu membangkitkan kenangan buruk yang sudah dikuburnya dalam-dalam.
Namun sekarang keadaan memaksanya kembali untuk pulang ke kampung halaman. Bahkan kali ini bukan sekadar berkunjung sebentar, tapi untuk selamanya. Kondisi Yanti, ibunya, yang tinggal sendirian di rumah sudah sangat mengkhawatirkan. Usia tua dan penyakit berat telah menggerogoti sebagian besar kemampuannya. Ia sekarang bergantung pada bantuan orang lain untuk mengurus kebutuhannya. Sementara anak-anaknya tinggal terpisah jauh darinya. Beruntung ada bulik Narti, tetangga sebelah yang masih ada hubungan keluarga, berkenan mengurus segala keperluan Yanti.
Tapi apa mereka selamanya akan membiarkan ibu mereka diurus orang lain, sementara anak-anaknya masih ada. Firda, adik Wiwin yang menikah dengan anggota TNI dan tinggal di Palembang, tak memungkinkan untuk menemani Ibu. Begitu pula dengan Danar, anak bungsu, yang bekerja di sebuah pertambangan di Kalimantan Tengah. Selain terikat kontrak kerja, sebagai anak laki-laki dia tentu tidak bisa mengurus Ibu. Wiwin sebagai anak perempuan tertua yang lebih pas mengurus sang Ibu. Wiwin merasa bertanggung jawab dan terpanggil untuk menunaikan baktinya. Wiwin berusaha menepis trauma masa lalu yang masih membayang dalam benaknya.
Keputusan Wiwin untuk pulang sempat dipertanyakan Hamdan, suaminya. Pria tigapuluh lima tahun itu tahu persis kondisi mental sang istri.
“Kamu yakin ingin pulang?” tanya Hamdan terselip kecemasan dalam nada bicaranya.
Wiwin hanya mengangguk.
“Sebenarnya kita bisa menyewa perawat buat mengurus Ibu.”
“Itu tanggung jawabku. Kesannya aku tidak punya perasaan jika membiarkan Ibu diurus orang lain,” cetus Wiwin.
“Tapi kamu gak apa-apa, kan? Kamu siap menghadapi ....” Hamdan tak meneruskan ucapannya karena berat untuk disampaikan.
“Nggak apa-apa, Mas. Aku sudah kuat kok.”
Hamdan menatap istrinya sesaat, seakan ingin lebih meyakinkan hatinya. Sejurus kemudian dia menarik napas dalam.
“Ya sudah, kita urus kepindahan ....”
Wiwin menyentuh tangan suaminya. “Kalau Mas Hamdan masih ingin di sini meneruskan pekerjaan Mas, nggak apa-apa. Aku dan Nasya saja yang pulang. Nanti sebulan sekali mas bisa sambangi kita kok,” kata Wiwin.