Rawan

Eko Hartono
Chapter #2

Panggilan Jiwa

Kepulangan Wiwin dan keluarganya ke kampung halaman sangat mendadak dan tanpa perencanaan sebelumnya. Wiwin hanya berpikir ingin mengurus ibunya yang sudah tua dan sakit. Dia belum berpikir nanti mau kerja apa di kota kelahirannya. Jika Hamdan sudah punya rencana akan buka bengkel sepeda motor, Wiwin tak tahu harus melakukan apa. Dia sempat berpikir akan mengajar di sekolah sesuai keahliannya atau buka les privat. Tapi itu jika dirinya bisa berbagi waktu mengurus sang Ibu. Dan saat melihat keadaan ibunya yang sangat memprihatinkan, Wiwin jadi tak tega bila harus meninggalkannya. Dia ingin fokus merawat ibunya dan belum berpikir untuk nyambi bekerja. 

“Win, aku sudah menemukan lokasi untuk buka bengkel. Tempatnya nggak jauh dari sini," kata Hamdan siang itu pulang dari survei. 

“Bagus! Di mana tempatnya?" sambut Wiwin senang. 

Baru dua hari Hamdan keliling seantero kota kecamatan buat mencari lokasi untuk membuka bengkel. Setelah resign dari tempat kerjanya di Jakarta, Hamdan sempat dapat pesangon dan mencairkan dana JKN ketenagakerjaan yang jumlahnya lumayan besar. Dana itu yang rencananya buat modal usaha bengkel dan sebagian ditabung. 

“Ada bangunan kios yang disewakan di pinggir jalan. Limaratus meter dari sini. Kebetulan yang punya kenal baik sama almarhum bapak, jadi aku dikasih harga sewa lebih murah, ” jawab Hamdan. 

“Alhamdulillah! Oh ya, mas aku sudah siapin makan siang. Ayo, kita makan.”

“Nanti aja, Win. Tadi aku disuguhi makanan dan minuman sama Pak Broto. Jadi masih agak kenyang.”

“O, Pak Broto. Ya, aku juga kenal. Beliau dulu teman baiknya almarhum bapak.”

"Gimana keadaan ibu?” Hamdan lalu mengalihkan pembicaraan sambil matanya melirik ke kamar Yanti. 

Wiwin menghela napas pendek sebelum kemudian menjawab, "Masih sama seperti kemarin.”

“Kamu yang sabar ya, Win. Namanya juga orang tua.” Hamdan berusaha menghibur istrinya. 

“Aku sih nggak apa-apa, Mas. Aku nggak repot ngurus Ibu. Sudah aku niatin dari awal. Apa pun keadaan ibu dan yang dilakuin beliau aku bisa maklumi. Lagian Ibu orangnya mudah diatur dan nggak rewel. Karena penyakit pikunnya aja yang bikin dia kayak ribet. Tapi bagiku, sesusah-susahnya ngurus orang tua nggak seberapa jika dibanding dengan orang tua dulu mengurus kita. Jadi aku kadang suka heran bila ada anak yang mengeluh ketika melihat orang tuanya sudah tua dibilang nyusahin. Itu anak durhaka namanya!” 

Hamdan tersenyum kecil. Dia tahu, istrinya punya perasaan yang halus dan peka. Dia paling tidak suka melihat ketidakadilan dan hal-hal yang tidak sesuai dengan norma etika. 

“Omong-omong, bagaimana dengan kamu?” tanya Hamdan tiba-tiba. 

“Aku kenapa?” Wiwin balik tanya. 

“Selama ini kamu terbiasa berdiri di depan kelas mengajar anak-anak sekolah. Kamu nggak tersiksa hanya berdiam di rumah?”

Wiwin diam tercenung. Sesungguhnya jiwanya gelisah karena tidak bisa menjalankan perannya sebagai pendidik. Menjadi guru adalah cita-cita sekaligus idealismenya untuk memperbaiki keadaan. Dia melihat masih banyak guru yang menyeleweng dan mencedarai profesinya dengan perbuatan tercela. Mereka menjadi guru sekedar mencari uang, bahkan ada yang menjadikannya hanya sebagai topeng untuk gengsi dan mengangkat kewibawaan. Mereka lupa tugas utama guru adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mendidik generasi agar menjadi insan mulia. Guru adalah pekerjaan pengabdian, bukan mencari keuntungan apalagi ketenaran. 

“Aku nggak bisa ninggalin Ibu, Mas. Kalau aku harus kerja keluar nanti siapa yang mengurus dan mengawasi Ibu?”  ujar Wiwin terdengar bimbang. 

“Kan ada bulik Narti yang bisa nemenin. Aku juga nanti bakal sering nengokin ibu, orang bengkelnya deket. Lagian aku lihat dari kondisi fisiknya Ibu cukup sehat. Dia nggak pernah keluar rumah dan rutinitasnya hanya itu-itu saja. Kamu masih bisa kembali mengajar. Di SD atau SMP deket sini aja.”

Wiwin kembali terdiam. Bimbang. 

“Aku bilang gini bukan berarti aku nyuruh kamu ikut nyari uang, tapi aku nggak mau lihat kamu bosan aja kalau hanya di rumah. Jiwa kamu sebagai pendidik bakal meronta dan itu juga nggak baik buat mental kamu,” lanjut Hamdan. 

Lihat selengkapnya