Waktu bergulir begitu cepat. Di hadapan Wiwin berdiri bangunan gedung SMP. Rasanya baru kemarin ia meninggalkan gedung sekolah itu. Dan sekarang, setelah hampir limabelas tahun berlalu, ia kembali berdiri di depan pintu gerbangnya. Sejenak Wiwin memandangi gedung sekolah yang pernah diakrabinya tiga tahun lamanya. Seketika ratusan kenangan melesak memenuhi ruang ingatannya. Sesungguhnya banyak kenangan indah dan manis pernah dilaluinya. Kenangan bermain dan belajar bersama teman-teman sebaya. Namun ada satu kenangan pahit yang menjadi jelaga menodai memori hidupnya. Wiwin berusaha untuk tidak mengingatnya.
Wiwin memejamkan mata sebentar sambil menarik napas dalam-dalam. Mencoba mengisi rongga dadanya yang sesak oleh kenangan kelam. Menguatkan keberaniannya menapak tilasi masa lalu. Perlahan Wiwin melangkahkan kakinya melintasi pintu gerbang. Senyampang matanya memandangi keadaan sekitar. Tidak banyak perubahan terjadi pada sekolah ini. Jika ada yang berubah, hanya warna cat, pagar tembok yang dibangun mengelilingi area sekolah, dan ada penambahan gedung baru untuk laboratorium dan perpustakaan. Selebihnya, masih sama. Terlihat beberapa siswa siswi berseragam bergerombol di beberapa sudut. Sebagian dari mereka menatap asing ke arah Wiwin. Mereka memang tidak ada yang mengenalnya. Melihat mereka Wiwin seperti melihat sosok dirinya dulu saat seusia mereka. Polos, riang, penuh semangat, dan tanpa beban.
Di depan pintu ruang kepala sekolah terpampang papan nama; Tono Suharso Spd. - Kepala Sekolah. Wiwin tersenyum kecil. Dulu, Pak Tono adalah guru Sejarah yang mengajarnya waktu kelas 3. Wiwin masih ingat, Pak Tono orangnya ramah dan dekat dengan para murid. Suka guyon saat mengajar, sehingga murid-murid tidak tegang. Sekarang dia sudah jadi kepala sekolah. Mungkin karena kesetiaan dan dedikasinya yang tinggi pada sekolah ini pihak yayasan menunjuknya jadi kepala sekolah. Dia juga terbilang guru paling senior.
Suara ketukan pintu menghentikan perhatian Tono dari buku laporan di atas mejanya.
"Masuk," ujarnya.
Wiwin membuka pintu dan masuk ke dalam.
"Selamat pagi, Pak Tono," sapa Wiwin sopan.
"Selamat pagi," sahut Tono seraya menatap Wiwin asing. Sepertinya ia belum mengenali Wiwin.
"Bapak lupa sama saya?" Wiwin tersenyum menggoda.
Tono mengerutkan kening, sedang mengingat keras. Perempuan muda berjilbab yang berdiri di hadapannya seperti tak asing di matanya. Namun, memori otaknya yang sudah menua sulit mengingat satu persatu orang yang pernah ditemuinya. Apalagi tiap hari menghadapi beragam tamu yang datang dan ada ratusan siswa yang saban tahun datang dan pergi.
"Saya Wiwin, Pak. Bekas murid bapak dulu. Lulusan 2009." Setelah Wiwin menyebut namanya seketika Tono langsung ingat.
"Oh, kamu Wiwin? Pangling saya. Sudah berapa tahun nggak lihat kamu. Gimana kabarnya?" Sikap Tono berubah rileks. Dia langsung berdiri menyalami Wiwin, lalu menyilakan duduk di sofa.
"Silakan duduk."
"Terima kasih."
Wiwin duduk di kursi sofa. Tono mengikuti duduk di depannya. Suasana seketika mencair akrab. Sikap Tono lebih santai. Mereka bercakap-cakap membicarakan banyak hal. Wiwin lalu mengutarakan niatnya melamar jadi guru di sekolah ini. Tono menyambutnya antusias.
"Kebetulan sekali sekolah kita kekurangan guru pengajar. Belum ada yang minat. Mungkin karena ini sekolah swasta dan gajinya tidak sebesar di sekolah negeri. Makanya saya sangat senang, kamu sebagai alumni sekolah ini bersedia mengabdikan tenagamu untuk mengajar di sini," kata Tono dengan wajah gembira.
"Jadi saya diterima, Pak? Tidak perlu pakai interview, tes atau wawancara dulu?"
"Alaah, buat apa pakai interview segala. Tadi kamu sudah cerita kalau kamu pernah ngajar SMP di Jakarta. Kamu lulusan sarjana pendidikan. Jadi buat apalagi harus tes-tes segala. Sudah, kamu langsung masuk aja. Kalau perlu hari ini juga bisa mengajar. Kamu biasanya mengampu pelajaran apa?"
"IPA, Pak."
"Bagus. Kamu bisa ngajar dari kelas 7 sampai 9."
"Tapi saya mesti persiapan dulu, Pak. Hari ini saya baru mau masukin berkas lamaran."