Anak SMP bisa disebut anak tanggung atau anak baru gede. Mereka berada pada fase akil baligh, yakni peralihan dari anak ke remaja. Jadi sifat kanak-kanak mereka masih terbawa. Mereka belum sepenuhnya dewasa. Mereka masih suka bermain-main dan belum bisa bertanggung jawab secara penuh. Mereka masih dalam proses belajar menuju ke dewasa. Bahkan sebagian dari mereka masih terperangkap dalam jiwa kanak-kanak. Tapi ada juga yang sudah merasa dewasa, lalu bersikap dan berperilaku layaknya orang dewasa. Padahal mereka belum matang benar.
Begitulah yang dilihat Wiwin pada diri anak didiknya di sekolah. Sikap dan perilaku mereka sudah mirip seperti orang dewasa. Pacaran, berantem memperebutkan cewek, merokok, bahkan Wiwin pernah menemukan bekas botol miras di belakang sekolah. Mereka sudah terang-terangan melakukan itu. Tapi semuanya terasa tanggung, sehingga terlihat norak. Mereka melakukannya tanpa didasari pemikiran yang dewasa, hanya ingin coba-coba. Ingin terlihat hebat di mata orang lain. Padahal itu tindakan yang bodoh. Mereka belum bisa membedakan salah dan benar. Patut dan tidak patut.
Mereka bisa dikatakan berada di usia rawan. Usia yang rentan terhadap pengaruh dan pergolakan. Mereka suka meniru dan mencoba hal baru. Mereka selalu ingin tahu. Tak heran bila mereka jadi sasaran empuk produk budaya modern. Entah itu film, musik, fashion, gawai, dan lain-lain. Mereka lebih suka mengikuti idola dan public figure yang dijadikan panutan dari pada orang tua atau guru. Disinilah kemudian problemnya ketika sosok yang mereka idolakan membawa pengaruh buruk. Atau mengajak kepada hal yang negatif. Remaja tanggung yang bisa dibilang masih hijau ini akan mudah tersesat dan jatuh ke lubang neraka dunia, jika tidak pandai memilih dan memilah dengan benar.
Sebagai guru Wiwin punya tugas berat mendidik mereka. Bukan saja menularkan ilmu pengetahuan, tapi juga membentuk pribadi mereka dengan pelajaran budi pekerti. Karena tanpa budi pekerti, manusia akan mudah tersesat dan terjerumus. Ilmu untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan. Budi pekerti untuk mengasah hati nurani. Agar tumbuh kepekaan, kepedulian, toleransi, dan rasa saling menghargai serta menghormati. Apalah artinya pintar, jika nir etika dan adab. Di atas ilmu ada akhlak, begitu yang diajarkan oleh agama. Orang pintar tidak bermoral akan lebih berbahaya dari pada orang bodoh tapi tahu moral etika.
Wiwin baru selesai mengajar di kelas 8 B. Ketika akan kembali ke ruang guru Wiwin melihat sekelompok siswa kelas 9 bergerombol di sudut halaman. Baru beberapa hari mengajar di SMP ini Wiwin mulai hapal para siswa yang diajarnya, walaupun dia tidak hapal nama mereka. Siswa dari kelas sama biasanya akan bermain dan berkumpul sesama teman sekelas. Tapi yang menarik perhatian Wiwin, diantara enam anak laki-laki kelas 9 itu ada satu anak perempuan yang bergabung. Dilihat dari tingkah lakunya terkesan terlalu berani. Wiwin pun jadi gerah dan risih melihatnya duduk berdempetan dengan anak cowok tanpa rasa malu. Ketika ada tangan temannya yang kurang ajar mengelus pipinya, dia biarkan saja.
"Indah!" Terdengar seseorang memanggilnya.
Indah menoleh ke arah orang yang memanggilnya. Seorang siswa laki-laki duduk di atas sepeda motor.
"Apa?" sahutnya.
"Ayo, ikut!"
"Ke mana?"
"Biasa."
Indah bangkit dari tempatnya. Dengan setengah berlari menghampiri anak yang duduk di atas motor.
"Woi, jangan bolos!"
"Kalian mau pacaran ya?"
"Jangan lupa pakai kondom! Ha, ha, ha .... !" Seru beberapa temannya disusul suara tawa berderai.
Indah tak peduli dan langsung naik ke boncengan. Dan motor itu pun melaju meninggalkan halaman sekolah. Bayangan mereka hilang dari balik pintu gerbang. Entah hendak ke mana mereka. Wiwin yang masih terpaku di tempatnya hanya bisa tertegun. Dia tadi sebenarnya hendak mencegah mereka agar tidak bolos, tapi mereka sudah keburu pergi. Wiwin menghela napas berat.
Wiwin memasuki ruangan guru dan langsung menemui Yuni di mejanya.
"Bu ada anak kelas 9 yang bolos," lapor Wiwin.
"Siapa?" tanya Yuni.
"Yang satu namanya Indah, satunya lagi saya belum tahu."