Rawan

Eko Hartono
Chapter #7

Buku Kehidupan Anak

Wiwin duduk sendirian di beranda samping rumah. Melamun. Kejadian di sekolah siang tadi terus terbayang di kepalanya. Masih dirasakan cubitan keras dalam hatinya. Ucapan Indah yang kasar itu amat menyakitkan. Tak pernah terbayangkan dalam pikiran Wiwin ada anak perempuan seumur itu bertindak lancang pada orang yang lebih tua. Entah, pendidikan macam apa yang diberikan orang tuanya di rumah. Tidakkah anak itu diajarkan tata krama oleh kedua orangtuanya? Atau memang sudah demikian karakternya dari lahir? Atau... Wiwin tak meneruskan prasangkanya. Semua itu baru dugaan. Wiwin belum mengenal anak itu secara dekat.

Wiwin tak yakin Indah tumbuh jadi anak pemberontak dan bengal tanpa ada sebab. Mungkin itu pengaruh dari HP dan Internet. Sudah menjadi pengetahuan umum jika HP sumber kerusakan mental dan moral anak-anak. Dari HP segala informasi yang didapat lewat internet bebas diserap. Celakanya, informasi yang didapat lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya. Informasi yang didapat tanpa disaring dan dicerna dengan baik akan berdampak buruk. Didorong rasa ingin tahu, mereka berusaha mencari tahu hal-hal baru, yang notabene tidak pantas untuk anak seumuran mereka. Maka, bukan hal aneh mereka meniru dan melakukan perbuatan yang seharusnya tidak boleh dilakukan. 

Tapi terlepas dari pengaruh HP yang jadi kambing hitam, peran orang tua dan lingkungan pergaulan sosial juga punya tanggung jawab besar dalam tumbuh kembang kepribadian seorang anak. Ketika orang tua abai pada pendidikan anak dan tidak peduli pada perilaku anak, maka kenakalan anak akan terus terjadi. Masyarakat dan lingkungan sekitar juga punya andil pembentukan pribadi anak remaja. Masyarakat yang individualis dan permisif terhadap perilaku anak remaja yang melanggar norma etika akan menjadikan anak remaja semakin tak terkendali. Bisa dibayangkan seperti apa masa depan bangsa ini jika generasi mudanya sudah rusak dari dini. 

"Win!" Sebuah suara membuyarkan lamunannya. 

Wiwin menoleh. Hamdan menghampiri dan duduk di sampingnya. 

"Dari tadi aku lihat kamu duduk melamun. Apa yang kamu pikirkan? Apa ada masalah?" tanya Hamdan ingin tahu.

"Nggak ada masalah apa-apa, Mas," jawab Wiwin kalem. 

"Nggak ada masalah apa-apa, tapi ngelamunnya kok lama banget. Pasti ada sesuatu." 

Wiwin menarik napas dalam sebentar. Percuma dia menyembunyikan semua ini. Sudah lebih tujuh tahun mereka membina rumah tangga. Mereka sudah saling mengenal satu sama lain. Mereka juga saling terbuka bila ada masalah. Tidak ada yang disembunyikan lagi dari kehidupan mereka sebelumnya. Wiwin pun merasa nyaman berada di dekat Hamdan. Meskipun karakter mereka agak berbeda. Hamdan sosok pribadi yang terbuka, sabar dan pengertian. Dia pendengar yang baik. Sebaliknya Wiwin agak introvert, kurang sabar, dan kadang mudah emosi. Tapi perbedaan itu justru membuat mereka bisa saling melengkapi. 

Wiwin lalu menceritakan apa yang terjadi di sekolah. Hamdan mendengarkan seksama. Usai menceritakan perilaku muridnya yang di luar batas itu, Wiwin kemudian menghembuskan napas panjang, seakan lega sudah berbagi beban. Helaan napasnya itu pun bisa bermakna rasa putus asa. Wiwin tak tahu lagi mesti berbuat apa pada muridnya satu itu. Kini dia mengerti kenapa Bu Yuni sampai bersikap masa bodoh pada Indah. Seperti tak ada lagi jalan untuk mengatasinya. Memberikan pembinaan juga sepertinya percuma bila melihat attitude dan karakternya seperti itu. Indah bukan tipe anak yang mau mendengar nasihat. 

"Kamu jangan putus asa dulu. Tidak ada asap bila tidak ada api. Kamu telusuri dulu akar masalah yang menjadikan murid kamu bisa seperti itu. Setiap manusia memiliki hati, sentuhlah hatinya. Jangan langsung dijudge dulu," kata Hamdan memberi saran.

Lihat selengkapnya