Usaha Wiwin melakukan pendekatan ke Indah tidak semudah yang dipikirkan. Sikap Indah masih menunjukkan ketidaksukaan pada Wiwin. Tapi hal ini tak menyurutkan tekad guru muda itu. Sudah jadi niat dan tekadnya untuk membantu anak itu. Wiwin terpanggil jiwanya memperbaiki akhlak Indah. Mumpung dia masih muda. Masih ada kesempatan dan harapan untuk berubah. Wiwin yakin Indah bisa mengubah sifat dan sikapnya yang buruk.
Saat mengisi pelajaran di kelas Indah sengaja Wiwin tidak menegur keras anak itu ketika dia asyik main hape. Wiwin hanya mengingatkan dengan halus. Jika masih tidak mempan, Wiwin membiarkannya. Dari pada nanti marah dan keluar dari kelas. Akan lebih baik dia tetap berada di dalam kelas, setidaknya dia bisa ikut mendengarkan uraian guru. Kelihatannya ini bukan tindakan yang tepat dan bisa dianggap menoleransi ketidakdisiplinan. Tapi Wiwin punya alasan yang kuat.
Saat jam istirahat Wiwin mencoba kembali mendekati Indah, tapi anak itu masih menunjukkan penolakan. Anak itu masih diam membisu ketika diajak bicara. Bahkan langsung menghindar ketika baru didatangi. Gerak gerik Wiwin rupanya diperhatikan oleh guru-guru lain. Farid yang kebetulan mejanya berdekatan dengan meja Wiwin langsung melontarkan pertanyaan bernada penasaran.
"Bu Wiwin ada urusan apa lagi sama Indah? Beberapa kali saya lihat sering sekali deketin dia?"
"Urusan guru sama murid, Pak Farid. Saya sedang berusaha membantu dia agar bisa mengubah perilakunya," jawab Wiwin terus terang.
"Percuma, Bu. Anak itu tidak bakal berubah."
"Saya yakin dia bisa berubah."
"Bagaimana Ibu yakin, sedang kita yang sudah kenal dia dari awal masuk sekolah ini tidak bisa berbuat apa-apa. Segala bentuk usaha dan pendekatan sudah kita lakukan, tapi hasilnya nol. Anak itu dasarnya memang nakal. Saya pikir orang tuanya yang kurang mendidiknya dengan baik."
"Mungkin kita sebagai guru juga kurang serius menangani masalahnya."
"Kita sebagai guru punya keterbatasan. Kita tidak 24 jam bersama anak didik. Yang kita hadapi ratusan anak. Tugas kita mengajar juga dibatasi waktu. Jadi tidak bisa hanya mengurus dia saja."
Wiwin memahami apa yang menjadi alasan rekannya itu. Guru hanya punya tugas mendidik dan mengawasi anak-anak didiknya di sekolah. Selebihnya, si anak akan lebih banyak berinteraksi dengan keluarga dan lingkungannya. Tanggung jawab pendidikan anak tidak semata dibebankan pada guru. Namun, tetap guru memiliki peran penting dan sentral dalam pendidikan anak didiknya. Terkadang lewat tangan guru seorang anak justru mendapatkan pengajaran yang lebih baik dari pada orang tuanya di rumah.
***
Bel tanda berakhirnya jam pelajaran berbunyi. Wiwin mengakhiri sesi pengajaran di kelas 9 A dan membiarkan siswa berhamburan keluar kelas. Wiwin mengemasi tasnya di atas meja. Tiba-tiba ada yang menghampirinya.
"Boleh saya bicara sama ibu?" Suaranya terdengar setengah berbisik seakan takut didengar yang lain.
Wiwin mendongak dan di hadapannya sudah berdiri Indah. Sebuah kejutan yang cukup membuat Wiwin senang. Setelah beberapa kali Wiwin mencoba bicara dengan anak itu dan selalu ditolak, tiba-tiba sekarang dia datang sendiri ingin mengajak bicara. Tapi Wiwin menekan dulu rasa senangnya. Bisa jadi ini hanya trik dan akting saja. Wiwin belum tahu maksud dan tujuan Indah.
"Boleh. Sekarang?" balas Wiwin.
"Jangan sekarang. Nanti habis jam sekolah."
"Oke. Di mana?"
"Nanti saya tunggu ibu di pintu gerbang. Saya akan ajak ibu ke suatu tempat."
Wiwin mengangguk. Indah lalu berpamitan keluar. Wiwin menghela napas lega. Akhirnya...
***
Indah memenuhi janjinya. Dia menunggu di pintu gerbang selesai jam sekolah. Wiwin yang baru keluar dari ruang guru menghampiri sepeda motornya di parkiran. Wiwin menjalankan motornya menghampiri Indah. Sejenak dia berhenti memberi kesempatan Indah naik ke boncengan.
"Kamu mau diantar langsung ke rumah, atau ke mana?" tanya Wiwin.