Wiwin sangat terkejut mendengar keinginan Indah bunuh diri.
"Kamu jangan bilang begitu. Nggak baik. Ucapan itu doa," tegur Wiwin.
"Nggak kok, Bu. Cuma bercanda," ucap Indah seraya tertawa.
Wiwin lega. Tadinya dia sudah berpikir Indah serius dengan keinginannya itu. Meskipun dalam hati Wiwin ada kekhawatiran hal itu benar adanya. Mengingat Indah menyimpan banyak masalah di rumah maupun di sekolah. Bisa saja itu memicu keinginan bunuh diri. Kondisi kejiwaan anak remaja masih labil dan pemikirannya belum matang. Ketika berhadapan dengan masalah gampang putus asa. Frustrasi.
Karena sudah cukup lama berada di bukit Semar Wiwin mengajak Indah pulang. Wiwin mengantarkan Indah sampai di pintu gerbang rumahnya. Melihat rumah keluarga Indah yang besar dan mewah, bukan jadi persoalan bagi Indah tidak terpenuhi kebutuhannya secara materi. Orang akan bilang Indah beruntung jadi anak orang kaya. Segala kebutuhan hidupnya terpenuhi. Seharusnya dia senang dan bahagia. Tapi kebahagiaan tidak selalu ukurannya materi. Kesenangan yang didapatkan dari materi tidak selamanya berujung bahagia, bisa juga membawa derita dan bencana.
"Boleh ibu mampir? Ibu mau bertemu orang tua kamu. Sekalian ibu mau kenalan," kata Wiwin.
"Jam segini papa sama mama nggak ada di rumah, Bu. Mereka pulangnya sore," jawab Indah.
Entah apakah jawaban Indah itu benar atau tidak, karena bisa saja dalih Indah agar gurunya tidak bertemu orang tuanya, Wiwin akhirnya pamit pulang.
"Ya sudah, kalau begitu ibu pamit dulu."
Wiwin melajukan motornya meninggalkan Indah.
***
Hari-hari berikutnya Wiwin dekat dengan Indah. Anak itu pun rajin datang ke sekolah. Perilakunya banyak berubah. Tidak pernah bolos dan tidak main hape lagi di kelas. Dia mulai tekun memperhatikan pelajaran. Indah rupanya mau mendengar nasihat Wiwin yang memintanya untuk fokus belajar. Mengingat sebentar lagi UAS. Masa depannya bergantung pada dirinya sendiri. Indah bisa menunjukkan kalau dirinya mampu. Wiwin tahu Indah anak yang cerdas dan berbakat, tapi hal itu tak akan ada artinya jika tidak didayagunakan.
Kedekatan Wiwin dan Indah cukup menyita perhatian para guru dan siswa-siswa lain. Sebagian dari mereka ikut senang, karena Indah jadi berubah lebih baik. Tapi ada juga yang sinis dan tidak suka. Mereka curiga ada sesuatu di balik kedekatan itu. Yang tidak suka menganggap itu cuma semu. Mereka tak yakin Indah benar-benar berubah baik. Mereka juga menganggap Wiwin mengambil keuntungan dari Indah. Mengingat Indah anak orang kaya. Rumor itu bikin Wiwin jadi prihatin. Usahanya mengubah tabiat Indah murni tulus, tak ada motif maupun tendensi tertentu.
Sikap pesimis justru datang dari rekan guru lain. Bukannya ikut senang dan mendukung usaha Wiwin, tapi malah dikomentari miring.
"Jangan percaya dia bisa berubah, Bu Wiwin. Indah itu anaknya licik. Tidak bisa dipercaya." Begitu kata Bu Yuni.
"Dia sudah berjanji akan jadi anak baik," tukas Wiwin.
"Itu juga yang dikatakan pada saya setahun lalu. Dia berubah baik, tapi hanya sebentar. Belum genap sebulan dia sudah bikin ulah. Saya merasa ditipu."
"Namanya anak remaja masih suka berubah-ubah. Dimaklumi aja, Bu. Kita yang harus sabar."
"Kesabaran juga ada batasnya."
Wiwin menyadari pendapat orang tidak sama. Percuma juga beradu argumentasi jika pemikiran sudah berbeda. Jadi dia tidak mau memperpanjang perdebatannya dengan guru lain yang tidak sepemikiran dan sejalan dengan usahanya mendekati Indah. Dia tetap akan terus membimbing dan menuntun Indah.
Masalah kedekatannya dengan Indah rupanya jadi urusan yang serius. Tiba-tiba Wiwin dipanggil ke ruang Kepsek. Tadinya Wiwin belum tahu masalah apa yang akan dibicarakan. Tapi setelah duduk di hadapan Pak Tono baru jelas apa masalahnya.