Rawan

Eko Hartono
Chapter #11

Luka Lama

Malam makin larut. Suasana sepi senyap. Waktu berjalan seperti merayap. Seakan ada kekuatan gaib menyergap. Membekap mimpi orang-orang yang sudah tertidur lelap. Tapi tidak dengan tiga orang di ruangan itu yang masih terjaga. Indah, Wiwin, dan Hamdan. Untuk beberapa saat Wiwin menatap Indah seksama, seakan tak percaya dengan apa yang dikatakannya tadi. 

"Bagaimana kamu yakin kalau kamu hamil?" tanya Wiwin setelah dibuat shock oleh pengakuan Indah. 

Remaja belia itu tidak langsung menjawab. Dia tampaknya masih ragu dan bingung. 

"Aku baca di internet kalau perempuan telat menstruasi minimal satu minggu katanya tanda sudah hamil," tutur Indah dengan suara lirih sambil kepalanya menunduk malu.

"Jadi kamu telat mens terus berpikir kamu sedang hamil?" 

Indah mengangguk pelan.

"Kamu sudah periksa ke dokter atau bidan?"

Indah menggeleng. 

"Boleh ibu tahu, apakah kamu sudah pernah melakukan hubungan intim dengan laki-laki?" Wiwin bertanya hati-hati.

Indah tidak menjawab. Sikapnya tidak tenang dan gelisah. Entah, apakah dia malu atau tidak mau jujur. Matanya sempat melirik ke arah Hamdan. Mungkin dia sungkan ada suami gurunya.

Wiwin lalu beranjak mendekati suaminya dan berbisik. "Mas, aku mau bicara empat mata dulu sama Indah. Dia sepertinya malu bicara terus terang di depan mas." 

Hamdan mengerti dan bangkit dari duduknya.

"Aku tinggal dulu ya," pamitnya lalu masuk ke dalam kamar. 

Setelah Hamdan tidak ada, Indah masih terdiam. Terlihat jari jemarinya dipilin-pilin, menandakan hatinya resah. Wiwin bisa merasakan emosi terpendam dalam diri gadis remaja itu. Wiwin menyentuh tangan Indah lembut seakan ingin menenangkan dan memberi dukungan.

"Kamu nggak usah malu bercerita sama ibu. Apa pun masalahmu, ibu akan bantu," kata Wiwin lemah lembut. 

Tiba-tiba Indah kembali menangis. Air matanya berlinangan membasahi pipi. Dia berusaha menahan suara tangisnya, sehingga terdengar seperti isakan. Wiwin membiarkan anak itu menuntaskan tangisnya. Mungkin dengan menangis sedikit bisa mengurangi sesak dalam dadanya. Indah menyusut lelehan air mata dengan punggung jari tangan kanannya. 

"Kenapa aku dilahirkan jadi anak perempuan, Bu. Aku benci jadi anak perempuan," ucapnya dengan tekanan dalam. 

Wiwin tercekat. Dari kalimatnya itu tersirat ada rasa marah yang terpendam dalam hatinya. Ada kebencian menggelora. Kenapa dia benci pada jati dirinya. Kenapa dia mesti marah pada statusnya sebagai perempuan. Wiwin merasakan seperti ada sesuatu dipendam anak itu. Sesuatu besar yang menekan dan membuatnya tak berdaya. 

"Kamu nggak boleh bicara seperti itu. Menjadi perempuan itu suatu kehormatan. Meskipun perempuan dianggap lemah dan di bawah kekuasaan laki-laki, namun tersimpan kekuatan luar biasa dalam diri perempuan. Kodrat perempuan melahirkan keturunan, mengurus keluarga dan mendidik anak, juga tidak sedikit perempuan yang berhasil menjadi pemimpin di tengah masyarakat. Kamu seharusnya bangga jadi anak perempuan," tutur Wiwin panjang lebar memberikan wejangan. 

"Tapi apalah artinya perempuan jika hanya menjadi mainan laki-laki. Dianggap barang murahan," ucap Indah seakan menggugat.

"Bagaimana kamu bisa berpikir begitu?" 

Lihat selengkapnya