Rawan

Eko Hartono
Chapter #12

Dilema

Azan subuh terdengar dari masjid dekat rumah. Seperti biasa Wiwin dan suaminya sudah bangun. Hamdan pakai sarung dan peci pergi ke masjid. Wiwin melihat pintu kamar yang ditempati Indah masih tertutup. Anak itu sepertinya masih tidur. Wiwin menuju ke dapur. Menyalakan kompor untuk menjerang air sebelum kemudian pergi ke kamar mandi berwudhu. Usai sholat subuh Wiwin menjalani aktivitas sebagaimana umumnya ibu rumah tangga. Memasak nasi di rice cooker dan bikin lauk untuk sarapan pagi. 

Tiba-tiba Yanti muncul. Wanita baya itu berjalan pelan menuju meja makan. 

"Ibu aku buatkan susu, ya?" kata Wiwin menawarkan.

"Ndak usah. Perutku lagi ndak nyaman. Air putih anget aja," sahut Yanti. 

Yanti duduk di kursi. Wiwin mengambilkan air putih hangat buat ibunya. 

"Tadi malam aku kayak dengar kamu ngobrol sama seseorang. Apa ada tamu, Nduk?"

"Iya, Bu. Murid aku. Namanya Indah. Dia aku suruh tidur di kamar Nasya." 

Wiwin menyodorkan gelas minuman ke ibunya. Sejenak Yanti meminumnya.

"Kenapa dia tidur di sini? Apa ndak punya rumah? Ndak dicari orang tuanya?" tanya Yanti.

"Kemalaman, Bu. Kasihan kalau harus pulang sendirian. Dia sudah pamit sama orangtuanya, " jawab Wiwin. 

"Memang ada masalah apa malam-malam kesini?"

"Nggak ada masalah apa-apa. Cuma mau menanyakan soal tugas di sekolah." Wiwin sengaja berbohong karena tak ingin ibunya tahu kejadian yang menimpa muridnya.

Wiwin teringat bagaimana dulu dia mengalami peristiwa sama seperti Indah dan ibunya orang pertama yang diberitahu. Waktu itu beliau sangat shock dan beberapa hari berubah jadi pendiam. Wiwin sempat khawatir ibunya akan murka dan melabrak ke sekolah. Tapi tidak. Beliau sadar jika perkara ini sampai terbuka, justru merugikan putrinya dan keluarganya. Kasus perkosaan, apalagi bila belum jelas pelaku, saksi mata, dan barang bukti akan sangat sulit mendapatkan keadilan. Kasus itu akan jadi perbincangan ramai masyarakat. Pada akhirnya pihak korban yang akhirnya jadi bahan gunjingan. Psikologis korban perkosaan jadi terganggu, ujungnya jika tak kuat tambah depresi dan bunuh diri. 

Wiwin pun menyadari sikap ibunya yang tetap merahasiakan hal ini sampai sekarang semata untuk melindungi dirinya. Hal sama juga dilakukan oleh almarhum ayahnya. Kedua orang tuanya tak ingin menambah luka batin putri mereka. Untuk beberapa lama Wiwin sempat mogok makan dan mogok sekolah. Dia trauma kembali ke sekolah. Ketakutan senantiasa menghantui dan membayanginya. Teman-temannya pun heran dan bertanya-tanya kenapa dirinya tidak masuk sekolah beberapa hari. Kedua orang tuanya tak ingin meninumbulkan kecurigaan dan syak wasangka dari orang sekitar. Mereka berusaha membujuk Wiwin agar bersikap normal dan meneruskan sekolah. Bukan berarti mereka tak peduli dengan kejadian yang menimpa putri mereka, tapi mereka tak ingin Wiwin terpuruk dan terus meratapi nasibnya. Dia harus bangkit melanjutkan hidupnya.

Memang sangat berat bagi anak perempuan semuda Wiwin waktu itu menjadi penyintas dan berjuang mengikis trauma atas peristiwa pahit yang menimpanya. Dinodai kesucian dan dihancurkan harkat martabatnya sebagai manusia sungguh sebuah kemalangan yang teramat besar. Wiwin akhirnya bisa bangkit dari keterpurukannya. Ini juga berkat perhatian dan dukungan dari kedua orang tuanya. Pun support dan pengertian Hamdan, suaminya. Beruntung Wiwin mengenal laki-laki baik seperti Hamdan. Walaupun awalnya dia sempat menolak dan menjauh dari Hamdan yang berusaha merebut hatinya. Tapi setelah mengetahui cinta Hamdan tulus dan mau menerima dirinya apa adanya, Wiwin akhirnya bisa menerima. Wiwin bisa menemukan kebahagiaan hidup yang diimpikannya. 

Dan sekarang Wiwin ingin membantu Indah yang bernasib sama seperti dirinya. Tapi yang dialami Indah mungkin lebih berat mengingat anak itu harus menghadapi masalahnya itu sendirian. Kedua orang tuanya tidak begitu perhatian. Tak ada orang terdekat yang dipercayainya. Ibarat berjalan di tengah kegelapan, tak ada setitik pun cahaya menjadi penuntun jalannya. Tak ada tongkat sebagai pegangan. Hidupnya seperti diombang ambingkan oleh gelombang lautan kehidupan yang ganas dan penuh tipu muslihat. Wiwin khawatir anak itu tak kuat menghadapi cobaan ini lantas mengambil jalan pintas yang juga merugikan diri sendiri. 

Wiwin sudah selesai dengan tugasnya di dapur dan juga sudah rapi dengan seragam guru. Wiwin kembali menengok kamar putrinya. Indah belum bangun juga. Sepertinya anak itu tidak terbiasa bangun pagi, bahkan mungkin juga tidak pernah sholat. Nasya yang sudah bangun protes kamarnya dipakai orang lain. Wiwin lalu mengetuk pintu kamar itu. 

"Indah, bangun. Sudah siang," seru Wiwin. 

Tak ada sahutan. Wiwin khawatir. Dia memaksa membuka pintu. Tidak dikunci dari dalam. Wiwin melihat Indah masih terbaring di atas kasur berselimut. Tapi sepertinya dia sudah bangun. Wajahnya tampak agak pucat. Wiwin menghampirinya. 

Lihat selengkapnya