Rawan

Eko Hartono
Chapter #18

Buah Simalakama

Anak laksana permata hati bagi orang tuanya yang ingin dijaga dan dilindungi dengan segenap jiwa. Tapi bagaimana jika permata itu sudah kehilangan keindahannya? Masihkah ada cinta untuknya?

*

Wiwin mengantar Indah pulang sampai rumah. Wiwin pun menyempatkan mampir untuk menjelaskan ke orang tua Indah tentang kepergiannya dengan Indah tadi. Mereka duduk berhadapan di ruang tamu. Indah langsung masuk kamar. Wiwin minta maaf karena tadi dia tak sempat pamit pada mereka. Indah bilang katanya sudah pamit pada mamanya. Rina bisa menerima penjelasan Wiwin, sementara Haryanto terlihat tidak suka dengan alasan Wiwin.

"Tapi ibu sebagai guru mestinya bisa menolak ajakan Indah. Kalau cuma ngobrol kenapa nggak di rumah, kenapa mesti keluar?" ujar Haryanto gusar.

"Sudah, Pak. Nggak usah dimasalahkan lagi. Indah kan pergi sama gurunya, bukan dengan siapa-siapa. Apa yang mesti dikhawatirkan," tukas Rina menepis kegusaran suaminya. 

"Sekali lagi saya minta maaf atas kejadian ini. Saya sebenarnya juga nggak enak sudah bikin bapak jadi resah. Tapi pertemuan saya dengan Indah tadi juga bukan sekadar obrolan biasa. Indah ingin menyampaikan hal penting pada saya. Hal yang belum diungkapkan Indah kepada kita. Mungkin ini nanti akan jadi masalah baru buat keluarga bapak, terutama bagi Indah sendiri," kata Wiwin menerangkan.

"Maksud bu guru hal apa yang belum disampaikan Indah?" Rina jadi penasaran. 

"Tapi saya minta bapak dan ibu jangan reaktif dulu mendengar hal ini. Saya berharap kalian bijaksana menghadapinya." 

Haryanto dan Rina tak sabar lagi mendengarnya. Haryanto pun terdiam. Wiwin lalu menceritakan kondisi Indah yang sebenarnya. Mereka pun shock mengetahui kenyataan bahwa putri mereka hamil. Seperti yang diminta Indah tadi, Wiwin pun menyampaikan keinginan Indah menikah dengan pacarnya agar ada yang bertanggung jawab atas janin yang dikandungnya. Rina menangis tergugu mendengar keterangan Wiwin. Air mata sepertinya akan menjadi temannya di hari-hari mendatang. Putri semata wayangnya akan menjadi sumber kesedihannya.

Sementara Haryanto tampak makin gusar. Wajahnya merah meradang. Terbias gejolak bara di matanya. Bak hunjaman pisau yang bertubi-tubi menusuk jantungnya hingga berdarah-darah. Luka itu semakin dalam. Wibawa dan harga dirinya sebagai seorang kepala keluarga seperti dihempaskan ke titik nadir. Kemarahan yang menggelegak dalam dada terasa mengguncang jiwa. Dia sepertinya tidak bisa menerima kenyataan pahit ini.

"Tidak! Aku tidak setuju anakku menikah dini. Dia belum saatnya berumah tangga. Dia belum dewasa. Dia belum bisa bertanggung jawab!" ujarnya tegas. 

"Terus apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi ini, Pak? Perut Indah akan makin membesar dan ini tentu berat bagi dia menjalaninya. Apa yang dikatakan orang nanti jika melihat dia hamil tanpa suami?" tukas istrinya.

"Kita gugurkan kandungannya!"

"Astagfirullahalazim! Kita nggak boleh melakukan itu, Pak. Itu kejahatan dan dosa besar." 

Wiwin pun kaget dengan gagasan Haryanto. Aborsi sama saja dengan perbuatan kriminal dan dosa besar. Wiwin sependapat dengan Rina.

"Iya, Pak. Kita nggak boleh melakukan hal itu. Resikonya juga besar, mempertaruhkan nyawa Indah," kata Wiwin.

"Terus harus bagaimana lagi? Indah itu masih muda. Dia masih punya kesempatan meraih masa depannya. Jika harus menikah dan berhenti sekolah, itu sama juga menghancurkan hidupnya. Mau jadi apa dia nanti kalau sudah dibebani mengurus rumah tangga. Aku juga nggak yakin dia bakal bisa mengurus anak!" seru Haryanto kesal.

"Biar nanti aku yang mengurus cucuku. Indah masih bisa meneruskan sekolah," cetus Rina.

"Tidak! Pokoknya aku tidak setuju Indah nikah dengan pacarnya itu. Belum tentu dia juga bapak dari janin yang dikandung Indah. Aborsi satu-satunya jalan keluar. Dan aku akan pindahkan Indah ke tempat yang jauh sekalian, dimana nggak ada orang tahu masa lalunya. Indah akan aku kirim ke rumah mas Jayus di Lampung. Di sana dia masih bisa meneruskan sekolahnya. Titik!" tandas Haryanto tak mau diganggu gugat lagi.

Lihat selengkapnya