“Seseorang yang pernah melakukan kesalahan dan tidak pernah memperbaikinya berarti ia telah melakukan satu kesalahan lagi.” - Konfusius
*
Sepulang dari sekolah Wiwin masih kepikiran oleh sikap Pak Tardi. Permintaan maaf yang disampaikannya seakan menyiratkan sesuatu. Orang tua itu mengaku punya salah padanya. Tapi kesalahan seperti apa, itu yang jadi pertanyaan Wiwin. Sepengetahuannya, Pak Tardi tidak pernah punya salah apa-apa padanya. Wiwin jarang berinteraksi dengan orang tua itu. Dulu, saat masih jadi siswa di SMP Bhakti Nusa, Wiwin juga tak begitu akrab dengan Pak Tardi. Maka, sangat aneh ketika Pak Tardi tiba-tiba datang kepadanya hanya untuk bilang minta maaf.
"Kamu masih mikirin penjaga sekolah itu?" ujar Hamdan menegur istrinya yang duduk melamun.
"Aku curiga, Mas. Sepertinya dia menyembunyikan sesuatu," kata Wiwin.
"Kamu nggak berpikir dia pelakunya, kan?"
"Kalau dilihat dari latar belakang Pak Tardi, rasanya nggak mungkin dia orangnya, Mas. Tapi bisa saja kan? Sampai saat ini aku belum menemukan petunjuk dan bukti yang jelas tentang sosok pelaku. Clue yang paling mungkin adalah si pelaku orang dalam lingkungan sekolah. Dan pak Tardi adalah orang di lingkungan sekolah. Dia juga orang yang punya akses dan keleluasaan di dalam sekolah. Dia paling hapal situasi di sekolah."
"Tapi secara logika dia nggak mungkin pelakunya. Dulu dia nggak punya hape, kan?"
"Ya. Dulu hanya Pak Tardi yang nggak punya handphone. Nggak mungkin dia bisa beli hape berkamera yang waktu itu harganya masih mahal."
"Berarti bukan dia orangnya."
"Terus, kenapa dia minta maaf sama aku?"
"Mungkin dia mengetahui sesuatu berkaitan dengan peristiwa yang kamu alami di masa lalu. Dia yang jadi saksi mata!"
Wiwin tertegun mendengar kesimpulan Hamdan. Jika benar itu yang mendasari Pak Tardi meminta maaf, berarti orang tua itu tahu siapa pelakunya. Perasaan Wiwin jadi bergejolak.
"Kita harus korek keterangan dari Pak Tardi. Kita desak dia untuk mengaku!" ujar Wiwin antusias.
"Sabar, Win. Kita cari waktu yang tepat menginvestigasi orang tua itu. Sekarang baiknya kamu istirahat dulu. Kamu sudah punya rencana apa yang akan kamu lakukan ke depan?"
"Aku akan fokus mengurus Ibu, Mas. Tapi aku juga nggak akan berhenti menyelidiki kasus aku dan Indah."
Hamdan mengangguk.
***
Hari-hari berikutnya Wiwin mencurahkan waktu dan perhatian mengurus ibunya. Yanti pun sempat heran melihat Wiwin di rumah saja. Tidak pergi mengajar. Wiwin berdalih sedang mengambil cuti. Yanti yang menderita demensia ringan tak bertanya-tanya lagi. Dia malah senang di rumah ada teman. Nasya pun senang ibunya berada di rumah karena jadi sering menemani dirinya bermain.
Walau pun sudah tidak mengajar Wiwin masih tetap berkomunikasi dengan mantan rekan guru dan anak didiknya. Saling bertukar kabar atau sekadar ngobrol tentang banyak hal. Beberapa bekas anak didiknya bahkan tak segan curhat masalah pribadi dan minta advis atas masalah yang dihadapi. Saat mengajar dulu Wiwin memang sangat akrab dengan anak-anak didiknya. Mereka tak malu mencurahkan uneg-unegnya. Bahkan kini lebih bebas berbicara karena Wiwin sudah bukan guru mereka lagi. Jadi seperti ngobrol dengan sesama teman.
Ada satu siswi kelas 9 bernama Lisa yang cukup kritis. Dia cerita melalui pesan whatsapp tentang kondisi sekolah yang menurutnya sudah tidak kondusif. Beberapa siswa yang kedapatan bolos dan melanggar tata tertib mendapat hukuman keras. Mereka ditampar dan dipukul oleh guru. Tidak ada pembinaan lebih dulu. Peraturan baru ini diterapkan atas perintah kepala sekolah. Katanya untuk mendisiplinkan siswa. Siswa sekarang tidak diijinkan bawa handphone ke sekolah. Apa pun alasannya. Kasus Indah dijadikan acuan.
Wiwin setuju dengan tindakan tegas untuk mendisiplinkan siswa, tapi bukan dengan tindak kekerasan seperti menendang dan memukul. Itu tidak sesuai dengan nilai-nilai pendidikan. Justru akan membawa dampak negatif bagi anak didik. Mereka akan belajar jika tindak kekerasan dibolehkan dan dianggap wajar. Ini sangat berbahaya dan menyesatkan. Guru memang tidak boleh terlalu permisif, tapi juga tidak boleh over reaktif dalam menangani kenakalan siswa. Metode persuasif dan keteladanan itulah yang seharusnya dilakukan.