Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti.
(Segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan kebijaksanaan, kelembutan, dan kesabaran.) - Raden Ngabehi Ranggawarsita.
*
Sore itu cuaca mendung. Langit diselimuti awan hitam. Suasana di dalam sekolah SMP Bhakti Nusa tampak sepi. Belum berapa lama siswa kelas 9 yang mengikuti les untuk persiapan UNAS sudah berhamburan pulang. Mereka ada yang pulang sendiri-sendiri, ada pula yang dijemput. Mereka tampak buru-buru, karena takut diburu hujan. Guru yang mengisi les pun ikut bergegas pulang. Benar saja, tak lama kemudian hujan turun dengan derasnya.
Tapi di salah satu ruang kelas 9 masih ada satu siswa perempuan yang tertinggal. Lisa yang baru selesai menata buku-buku ke dalam tas keluar dari ruangan. Dia terlihat kesal karena keburu hujan. Tiba-tiba dia merasa ingin buang air kecil. Lisa pun melangkah menuju ke toilet. Suara deras hujan menelan derap langkah sepatunya yang menapaki lantai keramik. Saat menyusuri lorong kelas menuju ruang toilet, Lisa merasakan seperti ada yang mengikutinya. Lisa berhenti sebentar dan menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa. Lisa meneruskan langkahnya.
Lisa tiba di toilet dan tanpa ragu masuk ke dalam. Tanpa dia sadari ada seseorang menguntitnya ikut masuk ke dalam. Lisa yang berada di dalam toilet baru saja akan meletakkan tasnya di atas meja toilet. Tiba-tiba sepasang tangan kekar membekapnya dari belakang. Lisa tak sempat berteriak. Dia meronta berusaha melepaskan diri, tapi tenaganya terlalu lemah.
Orang yang membekap Lisa hendak menjatuhkan gadis remaja itu, tapi tiba-tiba... buk! Ada benda keras yang menghantam kepalanya dari belakang. Orang itu pun jatuh pingsan di lantai. Lisa yang terlepas dari bekapan bisa bernapas lega. Dia memandangi orang yang tadi hampir merusak kehormatannya dan sekarang terkapar di lantai. Sementara di hadapannya Hamdan yang memegang sepotong kayu menatapnya cemas.
"Kamu nggak apa-apa, Lisa?" tanyanya.
"Aku nggak apa-apa, Pak. Untung pak Hamdan cepetan datang. Hampir saja tadi aku...." Lisa tak meneruskan kalimatnya karena masih tegang.
"Alhamdulillah. Maaf aku tadi agak terlambat."
Tiba-tiba muncul Wiwin disertai Pak Tardi memasuki ruangan. Wiwin melihat ke orang yang terbujur telungkup di lantai. Hamdan membalikkan badan orang itu dan tampaklah wajahnya di balik masker yang tak lain adalah Pak Tono!
***
Beberapa hari lalu Wiwin dibuat terkejut oleh kedatangan Pak Tardi di rumahnya. Mantan penjaga sekolah itu bilang bahwa dia tahu apa yang terjadi pada Wiwin di masa lalu. Wiwin menyilakan Pak Tardi masuk ke dalam rumah. Mereka lalu duduk di ruang tamu. Hamdan duduk mendampingi istrinya. Wiwin memandangi Pak Tardi seksama. Dalam dadanya gemuruh perasaan tak karuan. Dengan suara berat dan penuh tekanan, Wiwin menginterograsi orang tua itu.
"Apa maksud bapak mengetahui peristiwa yang terjadi pada saya di masa lalu?"
Sejenak Pak Tardi tertunduk sambil menghela napas berat. "Maafkan saya bertahun-tahun lamanya memendam rahasia ini. Saya dihantui rasa bersalah. Tapi hati nurani saya tidak bisa diam lagi. Apalagi setelah kejadian sama menimpa Indah. Saya makin gelisah dan tidak tenang. Saya... saya tahu kejadian saat bu Wiwin diperkosa oleh Pak Tono. Saya melihat dia keluar dari kamar mandi sekolah setelah memperkosa ibu," tutur Pak Tardi dengan suara bergetar.
Darah Wiwin terasa naik ke kepala mendengar pengakuan Pak Tardi. Wajahnya meradang memperlihatkan kemurkaan yang besar.
"Kenapa baru sekarang bapak mengatakan hal itu? Kenapa bapak tidak melaporkan ke polisi? Bapak sama saja membantu kejahatan! Bapak sama juga penjahat!" seru Wiwin dengan lantang diliputi kemarahan.