“Satu-satunya keterbatasan dalam hidup adalah perilaku yang buruk.” - Scott Hamilton.
*
Pak Tono masih terikat di kursi dan tertawa geli mendengar ucapan Wiwin. Sepertinya dia tidak gentar mendengar ancaman Wiwin yang akan menyerahkannya ke polisi. Dia malah tertawa, seakan itu perkara yang ringan dan tidak menakutkan.
"Silakan, kalau mau lapor polisi. Saya tidak takut. Karena saya tidak bersalah!" ujarnya terdengar jumawa.
Wiwin jadi gusar mendengarnya. "Bapak sudah ketahuan hendak berbuat kejahatan masih bisa tertawa. Bapak tidak mau mengakui kesalahan. Manusia macam apa bapak ini?" hujat Wiwin keras.
"Apa buktinya kalau saya sudah berbuat kejahatan. Saya belum melakukan apa-apa pada anak itu!" bantah pak Tono sambil melirik ke Lisa.
Hamdan lalu menunjukkan kartu memori cctv di tangannya. "Saya memasang kamera cctv mini di atas ruangan toilet. Ini bisa menjadi bukti tindak pelecehan Bapak. Satu lagi, kesaksian pak Tardi yang melihat bapak melakukan pelecehan pada istri saya dan almarhumah Indah, itu bisa juga dijadikan bukti," kata Hamdan.
Wajah Pak Tono berubah pucat. Dia menatap Pak Tardi dengan sorot tajam. Marah. "Kowe pancen ora keno dipercaya. Asu kowe, Di! Awas, kamu nanti. Aku akan bikin perhitungan sama kamu!" umpatnya pada Pak Tardi seraya mengancam. 1)
Tapi Pak Tardi sudah tidak takut lagi. Dia malah menasehati mantan atasannya itu.
"Panjenengan akui saja perbuatan panjenengan. Umur panjenengan sudah tua. Buat apa menuruti hawa nafsu. Eling, Pak. Urip ning ndonya mung sedela. Panjenengan tobat, nyuwun pangapura sedaya dosa panjenengan. Balasan dari Allah sangat pedih. Tobat, Pak!" 2)
"Tobat raimu! Saya akan sewa pengacara paling hebat. Kalian tidak bakal bisa menuntut saya!" tandas Pak Tono masih juga bersikeras membela diri.
Entah, terbuat dari apa hati manusia satu ini. Wiwin benar-benar tidak habis mengerti. Setelah jelas ketahuan berbuat salah dan dosa, tapi masih saja menolak untuk mengakui. Dengan berbagai cara dia berusaha menyelamatkan dirinya. Mungkin dia pikir pengadilan dunia bisa dibeli dan berpihak kepadanya. Dia bisa bebas dari tuntutan hukum. Dia lupa bila pengadilan di akhirat kelak akan menghukumnya lebih berat.
"Begini saja, Bu Wiwin. Kita berdamai. Saya bersedia membayar berapa pun yang diminta, asal kita tutup masalah ini dan tidak memperpanjangnya. Ini tawaran yang adil. Jadi kita sama-sama tidak dirugikan. Bagaimana?" ujar Pak Tono mencoba menyogok Wiwin.