(509 Masehi)
Hutan pertapaan tersembunyi. Dua sosok bercakap-cakap di ujung hari menjelang sore.
"Waktu terhenti di tubuhmu!"
Sang Guru, berkulit keriput. Berjanggut dan rambutnya tergerai panjang memutih. Konon usianya hampir 1000 tahun. Ia mengawali pergerakan dengan bersila. Seorang murid muda belia, mengikutinya duduk bersila.
"Usia dunia berlanjut. Sementara sel-sel tubuhmu tak menua sedetikpun. Darah dan dagingmu tak berganti. Semua makanan dan minuman yang kau konsumsi, hanya berlalu lewat. Semenjak ajian Rawarontek bersemayam dalam jiwa ragamu, sejak itu pula sejatinya engkau tak hidup dan tak pula mati di alam fani ini."
Tatap mata Sang Guru menyelami pandangan si murid menghadap, duduk bersila padanya.
"Selama menyentuh tanah, ketika tubuh fana-mu terbelah oleh senjata apapun, walaupun tubuhmu hancur ribuan keping, darah merembas, namun itu tak akan mengakhiri hidupmu di dunia. Kau akan hidup lagi. Hidup lagi dan hidup lagi. Sudikah engkau berkelanjutan seperti ini seumur dunia?" tanya Sang Guru.
"Seumur dunia? Bahkan dunia memiliki umur sebagai awal dan akhir. Lantas, untuk apa hamba abadi?" tanya muridnya itu, tak lain pemuda berparas rupawan.
"Rawarontek bukan berarti abadi. Kematian sudah ditentukan. Tetapi ilmu ini dapat menangkal usia tua dan menghidupkan kembali Sang Tuan pemilik ilmu. Tentu dengan izin Yang Maha Kuasa," jawab Sang Guru.
"Tetapi, perlu diingat. Semua ilmu, menuntut pertanggungjawaban. Sudah pasti, kau akan memikul tugas besar atas ilmu yang sakral ini," kata Sang Guru, terpejam erat kedua matanya. Bibirnya mulai komat-kamit, merapal mantera. Namun si murid terburu menghentikannya.
"Tunggu, Tuan Guru ...," nampak kegundahan tersirat dari air muka si murid.
"Bagaimana kiranya, suatu saat nanti, hamba hendak mengakhiri ilmu ini, sementara sudah terlanjur bersemayam di kandung badan?" si murid bertanya.
Sang Guru terbuka perlahan kedua matanya, "Dimulai pun belum. Kau ingin mengakhiri?"
"Bukan itu maksud hamba, Tuan Guru," murid ingin menjelaskan.