(800 Masehi)
Lambhu Geni duduk di bebatuan tepi rawa.
Melirik ke sisi terakhir, tampak tergeletak di sana, potongan jasad dari hasil membongkar makam kuno. Ini beberapa kali dilakukan, berburu jasad yang dikubur kurang dari 1 hari.
Lambhu Geni menghela nafas.
Riak rawa-rawa terdengar berisik. Seperti ada yang melangkah, mendekati keberadaan Lambhu Geni seorang diri. Namun tapak itu bukan dari golongan manusia. Lantaran suaranya seperti makhluk empat kaki.
Lambhu Geni menoleh. Benar saja. Kedatangan makhluk tak terduga, memergoki dirinya tengah kelaparan.
"Kebetulan!"
Pekik Lambhu Geni, seketika melayangkan pisau lipat dari lipatan ikat pinggangnya. Jurus menukik tajam pisaunya dengan gesit, sekelebat mata, menancap sasaran binatang kaki empat di sana.
Lengking jerit kucing rawa liar. Tubuhnya sempat terlempar ke atas. Sekarat lalu mati.
"Maaf, kawan kecil! Aku sangat lapar. Sudah satu pekan perutku kosong," kata Lambhu Geni. Tega tak tega, kucing rawa liar itu, akhirnya hendak dijadikan santapan malam.
Angin berderit. Rawa bernyanyi.
"Berhati-hatilah membunuh binatang apapun di sini. Siapa tahu, itu siluman!"
Tiba-tiba terdengar suara lantang membahana di antara kesunyian tempat itu.
"Seleramu yang buruk, atau karena kepepet? Kucing liar pun hendak disantap!"
Suara itu berlanjut. Terlanjur terdengar ocehan Lambhu Geni hendak menjadikan kucung liar itu sebagai santapan.
Kedengarannya jenis suara wanita ditambah berdehem. Lembut tegas, menohok rasa lapar Lambhu Geni.
Bayang-bayang gadis molek, dengan busana panjang sawo matang, tiba-tiba muncul. Langkahnya menyeruak rerimbunan semak belukar terendam di antara akar-akar air rawa. Bagian bawah bajunya basah.
Di antara sunyi dan riuh nyanyian serangga, tak disangka gadis cantik datang dengan membawa sesuatu yang dibutuhkan Lambhu Geni saat itu.
Wuni. Nama gadis itu. Cantik walaupun tak pernah berhias diri. Dia seorang tabib obat dan racun. Sering muncul dan pergi sekehendak hati.
Si Lambhu Geni lebih tertarik pada sesuatu yang dipeluk gadis itu. Sebakul penuh berisi nasi.
"Ah! Kau rupanya ...," Lambhu Geni melirik sebakul nasi di tangan Wuni.
Sedikit lega setelah tahu bahwa Wuni yang muncul saat itu. Khawatir kalau-kalau musuh yang kemarin menebas kakinya sampai pangkal paha. Dan sekarang kondisinya sedang sangat lemah, lebih lemah dari bayi merah baru lahir. Apalagi setelah ia kehilangan banyak darah. Bahkan disebut, hilang nafasnya sudah satu pekan lalu.