Aku tersentak dengan pesan itu, karena aku memang merasakan ada sesuatu yang rusak dan remuk di dalam hati ini, tapi aku tidak tahu, darimanakah luka itu berasal? apa yang menyebabkan sebagian dari diriku itu terluka? mengapa aku bisa terluka? dan bagaimana aku bisa menyembuhkan dan memperbaiki semuanya?
Aku masih cukup dalam terisak, kini aku berperang dengan tangisku sendiri.
Membutuhkan waktu yang cukup lama hingga akhirnya aku bisa menenangkan isak tangisku sendiri.
Kini aku mulai mencoba menenangkan diri, merayu pelan pelan Raya kecil supaya mau berbicara lebih banyak lagi.
Kali ini Aku harus berbicara dengan baik dan lembut padanya, karena janji yang sudah aku ucapkan memang seharusnya di tepati dengan sebaik baiknya, aku tidak boleh lagi sembrono dan membiarkan jiwaku hancur lebih parah lagi.
Akupun mencobanya dan berkata “Hai, Raya kecil, ada apa?” tanyaku, aku bisa merasakannya bahwa dia masih saja terdiam saat ini, seperti anak kecil yang takut untuk berbicara karena takut akan disalahkan takut dimarahi, takut disakiti, takut dicela dan dicaci maki.
Melihat seberapa kerasnya aku kepada Raya kecil di dalam diriku itu, rasanya wajar sekali apabila ia kali ini begitu takut untuk kembali bersuara kepadaku, aku sungguh tertunduk lesu mengingat sekeras apa perbuatanku yang dahulu, aku begitu sembrono dalam melukai diriku sendiri.
Tapi beberapa tahun belakangan ini, aku sudah mulai belajar berbagai hal, sudah mulai berhenti menyalah-nyalahkan dan menuntut diri sendiri untuk menjadi sempurna lagi. Akupun mulai berusaha meyakinkan sosok kecil itu, untuk kembali berbicara lagi kepadaku setelah sekian lamannya ia aku bungkam diam. Aku memang tidak bisa menjanjikan hal indah dan hebat apapun kepadanya, namun dia pasti tahu aku berusaha mati matian belajar untuk mencintai dan menerima diriku sendiri ini.
“Tidak apa apa, aku kan kamu,kita adalah satu, mari berbicara dengan jujur,” ucapku yang berniat untuk meyakinkannya sekali lagi.
Raya kecil itu masih saja terdiam.
“Tadi kamu bilang, ada yang terluka kan? jadi, apa yang terluka itu?”
“Raya kecil, kamu kenapa?”
“Apakah kamu yang terluka itu?”
Setelah mengucapkan itu semua, dadaku terasa sesak dan aku tiba tiba merasakan kesedihan yang cukup mendalam.
Tanganku kembali bergetar, akupun menangis penuh isak, perasaan sedih entah apa itu menyeruak di dalam diriku. Pikirku, mungkin ini adalah emosi Raya kecil yang selama ini terpendam. Jadi biarkanlah saja dulu, biarkan emosi Raya kecil itu keluar dulu.
Di sela sela tangisku, kini kembali terputar lagi kenangan-kenangan masa lalu, kenangan masa kecilku, kenangan kenangan yang sudah lama sekali aku campakkan, kenangan kenangan yang sudah lama sekali terkubur, tertinggal, dan terlupakan.
Memori itu sangat indah, Aku melihat diriku sendiri yang masih kecil dan hidup dipenuhi dengan cinta, penuh akan kebaikan, dan orang orang yang hangat dan penuh harap kebaikan.
Oleh karena itu Raya kecil memang terlalu naif, dia mencintai apapun dengan sehebat hebatnya, dia mencintai apapun tanpa takaran, dia begitu tulus dan baik, pikirku.
Pandanganku pun teralihkan ke sudut berikutnya. Aku melihat Raya kecil yang begitu mencintai negeri ini. Ia memandang negerinya sebagai negeri yang hebat, negeri yang indah, negeri yang kaya akan sumber daya alam, negeri yang subur, negeri yang memiliki bangunan sejarah yang mengagumkan dunia, negeri yang berisi orang orang hebat, juga negeri yang dikenal dengan orang-orang lugu, sopan, ramah, dan baik hati.
Kemudian di sudut lain juga aku melihat diriku sendiri yang masih kecil itu sedang belajar sopan santun dan tutur bahasa krama oleh nenekku yang sudah lama tiada.
Di sudut terakhir aku melihat aku yang masih begitu kecil sedang berada di gendongan ayahku yang bersenandung dengan lagu jawa ‘tak lelo – lelo ledung’, lagu kesukaan masa kecilku.
Aku sedikit teringat bahwa dulu ketika aku kecil, aku akan menangis jika aku tidak digendong dan tidak dinyanyikan lagu itu oleh Ayahku.
Pandanganku teralihkan cukup dalam pada sudut memori ini, akupun melihatnya dengan cukup lama, aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari sana.
Tak kuduga, aku melihat memori itu dengan senyuman yang mengembang dan air mata yang mengucur deras di pipiku.