Selepas makan malam kita semua kembali ke kamar masing-masing, tentu saja Rara kembali sekamar denganku.
Akupun mulai bisa bersantai dan tidak terlalu memikirkan hal-hal aneh yang sudah aku alami hari ini, aku hanya merebahkan tubuhku di kasur sambil melihat lihat social media bersama Rara.
Namun, kebahagiaan dan ketenanganku tiba tiba menghilang ketika Rara mengingatkanku tentang tugas merangkum yang harus selesai dan dikumpulkan besok.
“Eh Ray, Tugasmu udah selesai kan?”
“Lah, iya Ra, belum belum, tinggal sedikit,” ucapku dengan sedikit panik.
Aku meloncat dari kasurku dan langsung duduk di meja belajar untuk segera menyelesaikan tugasku.
Aku melihat terdapat peta konsep dan beberapa hal penting yang sudah aku garis bawahi di buku sejarahku.
“Oke, ternyata emang tinggal di salin aja," ucapku kepada diriku sendiri.
Akupun melanjutkan tugasku di malam itu, tak lupa juga aku mempelajari dengan mendalam lagi mengenai materi sejarah kali ini.
Karena aku ingat besok pak Warto pasti akan menginterogasiku dengan berbagai pertanyaan.
Jarum jam menunjukkan pukul delapan malam, tugas menulis catatanku baru saja selesai. Akupun merapikan meja belajarku, menata buku dan mengembalikan buku catatan Rara ke dalam tasnya.
Kemudian aku melihat Rara tertidur dengan ponsel yang masih memutar video kartun jenaka kesukaannya.
Akupun mengambil dan mematikan ponsel Rara kemudian aku mencharger ponselnya itu supaya besok ia bisa memakai ponsel dengan baterai yang sudah penuh ketika di sekolah.
***
Sekarang hanya ada aku sendiri yang masih terjaga di malam ini. Aku hanya terduduk diam di kasur tidurku, kembali mengingat ingat tentang perjalanan hidup bangsa ini, perjalanan hidup negeriku ini, juga mengingat ingat percakapanku dengan Bi Surti.
Tiba tiba idealismeku yang telah di kalahkan oleh Bi Surti waktu itu, kini datang lagi.
Aku mulai bertanya tanya, emang bener ya kebaikan itu cukup buat ngebela negeri ini? Aku mulai merenung dan kembali berpikir.
Ku lihat rangkuman sejarahku baik-baik sambil asik bergumam sendiri.
“kayaknya, berbagai hal menyakitkan yang telah terjadi di dalam negeri ini juga terjadi karena kurangnya satu hal, yakni rasa saling percaya.”
“Ketika negeri ini baru lahir, rakyatnya masih mempercayai orang-orang yang memiliki tempat tinggal yang sama saja, di materi sejarah hal itu dikenal dengan sifat kedaerahan.”
“Hmm, Namun memang siapa yang mau menyalahkan hal itu? Tidak mudah memang memberikan rasa percaya, apalagi pengetahuan rakyat pada masa itu juga belum sehebat sekarang, mereka masih tidak begitu mengenal tentang negerinya.”
“Ya, bener, kayaknya pada saat itu para rakyat sepertinya memang belum tahu saja bahwa kita ini satu, belum tahu kalau kita mengalami penderitaan dan nasib yang sama, belum tahu kalau ternyata kita ini sebuah negara kesatuan yang harus di jaga baik baik semangat persatuannya.”
“Buktinya, setelah lama kolonialisme berjalan, akhirnya rakyat juga mulai sadar bahwa memang kita harus bersatu, rakyat sadar bahwa mereka dan beberapa suku serta rakyat rakyat lainnya adalah satu kesatuan yang utuh, yang harus saling menjaga.”
“Merekapun bekerja sama dan memperjuangkan suatu kebebasan, mungkin untuk saat ini kita mengenal hal itu sebagai suatu kemerdekaan.”
“Kemerdekaan menjadi awal ikrar mereka untuk kembali bersama-sama menjadi satu saudara dalam negeri ini.”
“Namun seperti halnya permasalahan hidup yang pasti tidak ada habisnya, permasalahan negeri ini juga begitu. Setelah itu godaan dari rasa saling mempercayai pun terjadi.”
Aku buka lembaran buku sejarahku berikutnya, menuju rangkumanku pada bab yang selanjutnya.