Saat ini tepat pukul 22.00 di kotaku, ya bisa jadi. Padahal langit masih cerah sekali, banyak awan terbang melintasinya, berwarna biru menandakan cuaca di luar begitu terik. Malam ini aku punya satu misi, yaitu memburu naga Fredrick yang katanya hanya legenda. Aku bersama lima oang anggota kelompokku akan segera berpetualang menelusuri hutan rimba, sungai-sungai, laut-laut yang dalam, gunung-gunung yang tinggi menjulang.
Namaku Rayen, usiaku... entahlah, yang terpenting aku duduk di bangku kelas 4 sekolah dasar. Teman-teman di kelasku sering sekali mengejekku dan menertawakanku dan sering pula mereka memanggilku Si Aneh. Hmm.. entahlah kenapa mereka bisa melakukan hal semacam itu. Padahal mereka yang aneh tidak bisa melihat apa yang aku lihat dan kurasa mereka sangat rugi.
Aku menyiapkan segala alat yang diperlukan untuk menjalankan misi itu, panah beserta anak-anaknya, pedang beserta sarungnya, tombak ehh yup tombak tidak jadi karena aku tidak kuat mengangkatnya, lalu jangan lupa perbekalan makanan, obat-obatan, dan jangan lupa ini, hahaha iya ini dia, mainan mobil-mobilan favoritku, sayang sekali jika aku tidak mengajaknya berpetualang. Saat hendak pergi berangkat, tiba-tiba tangan besar menamparku dengan keras, aku kaget dan berteriak “auu!”. Ternyata itu Komandan Edgard dia bertanya kepadaku “ Mau pergi kemana kau anak baru!?” suaranya sangat dalam dan lantang. Badannya begitu besar, tubuhnya penuh otot dan tatapannya sangat menusuk. Aku hanya terdiam dan sedikit meringis.
“ Apa kau sedang menghayal!” dia membetakku dengan suaranya yang mengerikan “ ini bukan main-main anak baru!” ia terus menatapku “ misi ini hanya untuk yang sudah ahli dan kuat, bukan bocah ingusan seperti dirimu!”. Aku terdiam menunduk, melihat wajahnya sungguh sebuah kesengsaraan bagi diriku “ sekarang taruh ranselmu dan berhenti berkhayal!”. Aku baru sadar, sedari tadi aku terus menggendong ranselku yang besarnya melebihi tubuh kecilku. Akhirnya aku melepasnya, Komandan Edgard pun pergi. Ia sangat geram melihat anak buahnya yang tidak serius dan bermain-main, padahal aku serius, aku sangat ingin pergi berburu naga Fredrick. Saat ia sudah jauh aku menghela nafas “huhh” teman-temanku sedari tadi ada disampingku melihat apa semua kejadian memalukan itu. “Jangan diambil hati, komandan memang seperti itu” ucap Daniel menghiburku, aku hanya mengangguk. Lalu bagaimana nasib ranselku beserta isinya.
- 0o0 –
Aku adalah ceria dan normal seperti anak lain, tadinya. Teman-teman sekolahku, dan teman-temanku di rumah sangat menyukaiku. Karena aku adalah anak yang riang dan selalu bisa menghibur temanku.
Sampai suatu ketika aku sakit keras.
Itu semua bermula ketika aku menginjak kelas 3 tahun kemarin, pada pagi hari tubuhku sangat tidak enak. Suhu tubuhku sangat tinggi, makan apa saja terasa hambar di lidahku. Ibuku panik membawaku ke rumah sakit, dan hari itu kebetulan rumah sakit sedang ramai. Ibuku dapat nomor antrean yang cukup lama.
Setelah lama menunggu, akhirnya kami dipanggil. 128, nomor antreannya. Ibuku menceritakan apa yang kurasakan kepada dokter. Dan mereka berbincang-bincang cukup lama. Aku tak memperhatikan mereka secara jelas, karena tubuhku sangat lemas sampai telingaku berbunyi nyaring. Di cermin kulihat wajahku yang kemerahan dan agak menghitam.
Kami pun pulang. Ibu menangis sepanjang jalan. Ibu kenapa? Batinku. Aku dengar kata terakhir dokter itu, ia bilang ibu harus bersiap untuk kemungkinan terburuk. Sesampai di rumah tubuhku makin lemas dan terkulai di atas ranjang. Ibu langsung meminumkanku obat resep dokter tadi. Di plastik berwarna biru itu tertulis namaku “Rayen 3x1 sebelum makan”. Aku pun tertidur, samgat pulas.
Dan bangun ketika hari sudah siang. Kasurku terasa panas dan lembab. Hawa di sekitarku juga panas, tapi hey, aku sudah lebih baik. Tubuhku tak lagi terasa berat. Kepalaku pun tak lagi pusing. Aku sudah sembuh, syukurlah. Aku pun keluar kamar dan mencari ibu. Dan ia ada di dapur. Sedang memasak sesuatu, aromanya sangat menggoda. Ia melihatku “ Rayen, kau sudah bangun?”. Aku menjawab “iyaa” dia menghampiriku dan menunduk “ bagaimana sakitnya?” aku bilang “ sudah hilang, bu”. Wajah ibu berseri-seri, wajah khawatirnya hilang seketika.
“ Pasti kau lapar..” Tebak ibu.