“Tunggu tunggu tunggu...apa katamu?! Hutan?!. Apa-apaan ini, padahal semalam aku tidur di kasur kamarku. Kenapa aku bisa di sini?”. Aku mulai panik.
Ia mengangguk dan tersenyum sekali lagi.
“Pasti kau yang telah melakukan semua ini! Kau menculikku kan?! Kau pasti yang telah membawaku ke sini!”. Aku membombardirnya dengan tuduhan asal sangking sock-nya. Ia mengerenyutkan alisnya dan tawanya meledak seketika. “hahahahaha....” tawanya sangat geli sekali, dengan suara bapak-bapaknya. Aku hanya melihatnya dengan tatapan kesal. Ia melihatku dan berhenti tertawa lalu berkata “ Jangan asal menuduh hanya karena kau dalam keadaan ketakutan, anak baru. Aku hanya kebetulan lewat dan menemukan kau tertidur di sini”. Tertidur? Ini sungguh gila. Bagaimana ia bisa berkata aku tertidur di sini. Sungguh, aku sangat ingat aku tidur di kamarku.
“ Daripada kau memikirkan hal itu, lebih baik kau ikut denganku berburu” ia menawariku. Bagaimana bisa aku mengikuti orang asing yang baru sekali aku kenal. Tapi jika tidak bergerak aku pun bisa mati dimakan hewan-hawan di hutan ini. Apa boleh buat, aku pun mengikutinya. “Kebetulan aku membawa dua tombak yang niatnya aku gunakan sebagai cadangan. Ini bawalah” ia menyodorkan sebuah tombak panjang yang terbuat dari kayu, tapi kokoh “usahakan tepat sasaran ya” ia kembali tersenyum. Tapi sayangnya aku tidak kuat mengangkatnya jadi aku kembalikan saja tongkatnya.
Kebetulan aku sangat lapar. Cacing-cacing di perut tak ada habisnya membuat suara-suara gaduh yang membuatku malu di hadapan paman ini. Sepertinya ia mendengarnya, kuharap tidak, tapi dia memandangku dan tersenyum. Sungguh memalukan.
Suasana di sini begitu mencekam, apalagi untuk anak sekecil diriku. Kalau tidak ada paman ini mungkin aku akan menangis di tengah hutan ini dan tidak ada satu orang pun yang mendengar. Sekarang sedang berkabut membuat udara sangat dingin dan pandangan terbatas. Paman itu berkata “ tetap berhati-hati”. Aku menelan ludah, satu kalimat saja sudah membuat bulu kudukku merinding tak karuan.
Kami berjalan lumayan jauh dari tempat pertemuan pertama kami. Tidak ada satupun hewan yang lewat di depan kami. Kabut mulai menipis dan matahari semakin meninggi, sinarnya menusuk celah-celah dedaunan. Jadi ini rasanya hidup di alam liar, perut kerongcongan, kaki gemetaran tak kuat rasanya berjalan dengan perut kelaparan. Paman itu tak banyak bersuara, bahkan tidak semenjak kami memulai perjalanan, mungkin dia merasakan apa yang kurasa. Tidak habis pikir, ternyata hutan yang seharusnya menjadi tempat tinggal binatang kosong seperti ini. Kupikir dengan memasuki hutan beberapa kaki saja sudah bertemu hewan-hewan buas seperti serigala dan lain-lain. Tapi malah yang kudapati hanya bunyi dedaunan yang ditiup angin, serta suara burung dan katak yang tidak kutahu darimana asalnya.
Dan itu dia! Seekor kijang melintasi kami berdua. Kijang yang besar. Tapi bisakah kami lebih tepatnya aku untuk menangkapnya. Kijang itu sangat besar. Ia melihat kami, terbengong lalu berlari sangat cepat. Tanpa basa-basi paman itu langsung berlari secepat kilat untuk mengejar kijang itu. Ia tidak menungguku, akupun berlari secepat yang aku bisa.
Kijang itu sangat lincah, berbelok sana-sini untuk mengecoh kami. Atau jangan-jangan kijang itu sudah sangat hafal hutan ini. Ia melompati akar-akar pohon yang besar-besar yang aku yakin belum ada orang komplek rumahku yang melihat besarnya akar-akar pohon hutan ini, karena mereka sudah pasti belum pernah masuk hutan sedalam ini. Paman itu tak kalah cepat, dengan membawa dua tombak ia masih sangat lincah. Aku dengan hanya bermodal takut ditinggal sendirian aku pun berusaha menyamai kecepatannya.
Nafasku tersengal-sengal. Lelah sekali. Tapi ini belum berakhir, karena kami belum mendapatkan bahan makanan. Saat kijang itu mulai menjauh, paman memperlambat langkahnya. “Paman, kita ketinggalan bahan makanan kita” aku menunjuk kijang itu yang masih berlari, ia menjawab “sshtt...jangan berisik! Kau ikut saja!” dengan suara berbisik dan nadanya sedikit mengotot. Ia mengendap-endap, aku memperhatikannya. Ia melempar tombak ke langit dan jatuh di antara dedaunan. Daun-daun rontok berterbangan. Gedebuk! Bunyi sesuatu jatuh keras sekali. Itu kijangnya! Wah hebat juga paman ini, batinku. Kukira ia asal lempar karena frustasi, tapi nyatanya ia tepat mengenai bahan makanan kami.
Gluduk-gluduk suara geluduk tiba-tiba terdengar dari atas. Bertanda hujan akan segera turun. Aku dan paman itu segera menggendong kijang itu. Berat sekali. Paman itu melihatku keberatan. Ia menyuruhku untuk melepas peganganku ke kijang itu. Lalu ia memanggul sendiri kijang itu.
Aku mencoba membuat suasana lebih rileks dengan menanyakan suatu hal yang benar-benar membuatku penasaran, yaitu hutan ini.
“Sebesar apa hutan ini paman?”
“ Luas sekali. Bahkan besar kota-kota di seluruh dunia tidak ada yang bisa menandingi luasnya hutan ini” jawabnya.
“Apa?! Sebesar itu kah hutan ini? Lalu bagaimana aku bisa keluar dari sini?”
Ia menggeleng dan berkata “tidak ada yang bisa keluar dari hutan ini. Satu-satunya jalan keluar untuk keluar dari sini adalah mengalahkan naga Fredrick”
“Apa itu?”
“Itu adalah makhluk legenda di hutan ini. Tubuhnya setinggi gedung lima lantai, dan lebar tubuhnnya seluas tiga rumah yang berjejeran” walau aku tidak mengerti sebesar apa itu tapi kelihatannya cukup besar “ ia adalah makhluk terbesar di hutan ini”. Yap berarti benar-benar besar.