**
Cowok jangkung dengan jaket berwarna Navy itu merebahkan tubuhnya di sofa kecil Warkop langganannya. Ia memilih tidak pulang ke rumah karena keadaannya yang terdapat banyak lebam.
Rayhan menutup matanya dengan salah satu lengannya. Nafasnya terdengar teratur. Kali ini ia kembali memenangkan pertandingan Kickboxing dengan Antam di menit-menit terakhir. Seluruh tenaganya ia keluarkan habis-habisan.
Warkop adalah rumah keduanya ketika dalam keadaan suntuk dan saat tidak baik-baik saja seperti ini. Rayhan juga mempunyai akses sendiri untuk dapat keluar-masuk Warkop kapan saja.
Meskipun mamanya hanya mengomel melihatnya terluka, tapi wanita kesayangan Rayhan itu juga mengerti tugas yang dipegang oleh putranya ini. Tapi kali ini, Rayhan sedang tidak dalam mood untuk mendengarkan omelan mamanya dan berakhir untuk bermalam di Warkop sampai besok pagi.
"Ini di kompres dulu lukanya," ucap Pak Lam, pemilik Warkop itu meletakkan baskom berisi air panas dan handuk kecil di meja. Pria yang sudah menginjak kepala lima itu memang sering menginap di Warkopnya.
Rayhan hanya berdeham kecil dan mengucapkan terimakasih dalam keadaan menutup mata.
"Cari pacar aja, Den, biar ada yang ngobatin lukanya kalau habis berantem," ucap Pak Lam lagi, pria itu terkekeh melihat kebiasaan Rayhan yang terkadang tidak pernah mengurusi lukanya setelah berantem.
"Nggak kepikiran, Pak, takut nyakitin dia kalau saya lagi sibuk sama angkatan," jawab Rayhan tertawa kecil, cowok itu kini sudah duduk tegak dan mengompres lebam di wajahnya. "Lagian kalau ngobatin lebam gini aja, saya juga bisa sendiri," lanjut cowok itu.
Pak Lam berdecak kecil. "Bapak masih ingat dulu waktu kamu masih SMP, suka banget ganti-ganti cewek. Sampai ada yang datang kesini cuma untuk marah-marah, karena diputusin."
"Sekarang saya udah tobat, nggak mau nyakitin lagi deh, kapok saya. Tiap pulang mama selalu ceramah kalau saya ganti-ganti cewek terus. Meskipun cuma kata-kata aja, tapi kalau udah keluar dari mulut mama saya, rasanya serem banget, Pak," ucap Rayhan kembali tertawa. Mengingat mamanya dulu sering memberikan wejangan tentang akibat menyakiti hati banyak cewek. Sampai ia hafal diluar kepala.
Pak Lam tersenyum kecil. "Kamu gini-gini ternyata juga nurut ya sama orangtua."
"Ya mau gimanapun, surga tetep di bawah telapak kaki ibu, Pak. Tapi maksud 'saya gini-gini' apa ya? Kok saya agak gimana gitu?" ucap Rayhan berpura-pura tersinggung. Sedangkan Pak Lam hanya tertawa lebar. Setelah itu, Pak Lam pamit untuk istirahat.
Tidak lama setelah Pak Lam pamit, Rayhan terganggu dengan suara gaduh di luar warkop. Cowok itu berdiri dan melangkah keluar, ketika ia sampai di pintu luar, seorang gadis dengan seragam SMA duduk di atas Vespa birunya. Berusaha untuk menyalakan motor klasik itu. Seketika Rayhan melotot sangar dibuatnya.
"Woii! Mau apa Lo?" teriak Rayhan, baru saja akan menahan bagian belakang Vespanya, gadis itu sudah melajukan motornya kencang.
Tidak mau kecolongan, Rayhan berlari mengejar, belum juga setengah jalan, kakinya tersandung batu dan menambah lebam di kakinya. Bagus, diwajah belum sembuh, nambah di kaki. Dengan terpaksa, Rayhan kembali ke Warkop dan kembali duduk di sofa dalam tanpa menutup pintu.
Seakan bodoh amat dengan yang terjadi, cowok itu kembali merebahkan tubuhnya dan tidur. Baru menutup mata, kunci motor Vespanya melayang tepat di wajahnya. "Anjing!" desis Rayhan. Ia membuka mata dan pandangannya langsung bertatapan dengan gadis yang membawa kabur Vespanya.
"Lo bisa sopan dikit nggak?!" bentak Rayhan tajam. Sedangkan gadis itu mengedikkan kedua bahunya dan berjalan ke sofa di sebelah Rayhan.
"Bener-bener gak sopan!" ucap Rayhan lagi membuat gadis itu menoleh tajam. "Apa?!" tanya Rayhan.
Pandangan Rayhan terjatuh pada bet yang terjahit di lengan gadis itu. Bet milik SMA sebelah, yang menjalin persahabatan dengan sekolahnya.
Namun yang tengah dipikirkan cowok jangkung itu adalah tentang gadis ini yang berkeliaran tengah malam dengan seragam SMA yang masih melekat di tubuhnya.
"Ngapain Lo masih disini? Pulang sana!" ucap Rayhan ketika melihat gadis itu malah memejamkan matanya tenang.
"Ck, bacot banget," ucap gadis itu.
"Gak punya rumah, tidur disini?" ucap Rayhan sarkas, seketika membuat mata gadis itu terbuka.
Gadis itu berdiri. "Punya, nggak punya, bukan urusan, Lo!" ucapnya dingin.
Meskipun hanya sekilas bertatapan, Rayhan bisa merasakan bahwa tatapan gadis itu kosong. Nalurinya sebagai seorang cowok langsung tergerak, ia ikut melangkah di belakang gadis itu. Lalu memasangkan jaket kesayangannya di tubuh ramping itu.
"Gue nggak butuh belas kasihan dari Lo!" ucap gadis itu menyentak jaket di bahunya tanpa menoleh.
Rayhan tertawa geli. "Gue lagi nggak kasihan sama Lo. Cuma pengen bantu aja, Gue tahu Lo kedinginan."
Sial, manusia apa ini? Benar-benar menyebalkan.
"Ayo, Gue anter pulang!" ucap Rayhan mencekal tangan gadis itu yang lagi-lagi di hempaskan.
"Gue bilang Gue gak butuh belas kasih orang lain!" bentak gadis itu, pandangan rapuh terlihat jelas dimatanya. Rayhan tersentak kecil. Dia jadi sedikit bersalah karena ucapannya tadi.
"Sayangnya Gue gak butuh penolakan!" ucap Rayhan penuh penekanan. Dia kembali mencekal tangan gadis itu, tidak menghiraukan pemberontakan yang dilakukannya.
Rayhan mengambil jaketnya yang tergeletak di lantai menggunakan kakinya, lalu ia pakaikan lagi di bahu gadis itu.
Ia naik dengan tangan yang masih mencekal pergelangan gadis di hadapannya. Lalu kembali menoleh kepada gadis itu yang masih setia berdiri di sebelahnya.
"Naik!"
"Nggak, lepasin tangan Gue!"
Rayhan menghela napasnya, mencoba bersabar dengan sikap keras kepala gadis ini.
"Yaudah, coba aja. Sampai besok posisi kita tetep gini terus," ucap Rayhan tersenyum miring.
"Coba aja, emang Gue takut?" sinis gadis itu.
Rayhan hanya manggut-manggut, lalu mengeluarkan ponselnya dan memainkan benda itu, tanpa melepaskan cekalannya.
Lima menit.
Sepuluh menit.
Lima belas menit.
Gadis itu melirik kecil Rayhan yang sibuk menggulir layar ponselnya. Kakinya bergerak gelisah. Emosi juga melihat cowok dihadapannya ini.
"Kenapa? Nyerah?" tanya Rayhan yang sadar sedang diperhatikan.
Gadis itu langsung membuang muka. Tangannya kembali memberontak. "LEPASIN!"
"Terusin aja deh, Gue tunggu."
Dua puluh menit.
Dua puluh lima menit.