**
Rayhan menatap jengah pada Faroz yang tengah duduk di seberangnya. Sejak datang pagi tadi, setelah berdebat dengannya perkara Kanya yang demam kemarin malam, cowok itu sampai sekarang masih tertawa tidak jelas dengan pandangan pada ponselnya. Sesekali melemparkan pertanyaan yang sama kepadanya dan Kanya yang duduk jengkel di sebelahnya.
"Han, siapa pirst lopemu?" tanya cowok itu, kumat lagi.
"HIAHAHAHAHA, Sendi!" jawabnya sendiri.
Faroz kembali tertawa, tangannya memukul-mukul bantal sofa dipangkuannya. "Anjir, nih orang ada-ada aja kalau ngelawak."
"Nya, siapa pirst lopemu?" tanyanya pada Kanya.
Kanya yang berniat mengambil remote televisi di sebelah Faroz, menendangkan kakinya kesal ke tulang kering Faroz, hingga cowok itu mengaduh kesakitan.
"Gue robek lama-lama mulut, Lo!" kesal Kanya pada Faroz. "Berisik banget."
Faroz beringsut takut, ia menaikkan kedua kakinya ke atas sofa. Tapi kemuadian cowok itu menyeringai geli menatap Kanya yang kembali duduk di sebelah Rayhan. "Rayhan, HIAHAHAHAHA!" lanjut cowok itu, membuat Kanya mengambil ancang-ancang akan melemparkan remote di tangannya.
Melihat hal itu, Faroz langsung meletakkan ponselnya di meja dan berpura-pura tidur membelakangi Kanya. Rayhan hanya mendengus geli.
"Tidur, Nya."
Kanya berdecak dan langsung melemparkan bantal sofa ke arah Rayhan. "Bacot, Lo sana tidur!"
"Maungnya udah balik tuh," ucap Faroz, entah kepada siapa.
Rayhan mengambil bantal yang menimpa wajahnya. "Lagi sakit, galaknya malah nambah."
"Gue gak sakit," desis Kanya kesal.
"Idih yang kemarin demam siapa hah?!" tanya Rayhan kesal.
Kanya mengedikkan bahunya acuh. "Gak ada tuh, Lo kali."
Rayhan mengangkat tangannya ke udara, gemas dengan gadis dihadapannya ini. "Gue makan, mampus Lo, Nya."
"Makan, Han, makan. Sok atuh," timpal Faroz yang masih setia dengan posisinya.
Kanya melirik tajam punggung Faroz yang terbalut Hoodie hasil pinjaman kepada dirinya tadi pagi. "Gue makan duluan, Lo."
"Ih mau dong dimakan Mbak Kanya," seru Faroz lagi, tapi kali ini langsung mendapatkan lemparan bantal sofa oleh Kanya.
Faroz mendengus kesal. "Dibilangin, emang Kanya itu nggak sakit. Gadis galak kayak si onoh mana pernah sakit."
Cowok itu merubah posisinya menjadi duduk dan menghadap ke arah Rayhan dan Kanya. "Lo bilang dia sakit, abis Lo ditangan Kanya. Makanya Gue gak percaya waktu Lo bilang kalau Kanya sakit."
Rayhan menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa, lalu menolehkan kepalanya kepada Kanya. "Segalak-galaknya orang juga pasti bisa sakit, Roz. Makanya Gue khawatir."
Mendengar ucapan Rayhan, sontak Faroz tertawa geli. "Jijik Gue dengernya, sok romantis Lo!"
Rayhan mendengus dan memilih diam. Keadaan menjadi hening, hanya ada suara dari film yang diputar oleh Kanya.
Lalu tiba-tiba suara Faroz memecah keheningan. Tapi mampu membuat Kanya terdiam beberapa saat.
"Udah, Nya. Lo gak usah balik lagi, ujungnya juga bisa kebaca."
Rayhan memilih diam, karena tidak tahu harus menimpali seperti apa. Ia juga sedikit ragu apa yang diinformasikan oleh Rayyan itu adalah benar-benar gadis yang sedang duduk di sebelahnya ini. Meskipun melihat dari kejadian kemarin malam dan ucapan Faroz barusan yang sedikit tersambung dengan ucapan Rayyan.
"Lo jago berantem, galak, tapi kenapa nolak gitu aja susah?" lanjut Faroz, cowok itu sedikit melirik Rayhan.
Kanya menyandarkan kepalanya, lalu menghela napas kesal. "Apaansih, gak usa-"
"Gue peduli, Nya. Gak semestinya Lo yang jadi aset, Lo bukan barang yang bisa dijual!" sela Faroz menaikkan nada bicaranya.
"Apa perlu bokap Gue yang turun tangan?!" ucap Faroz yang berhasil membuat Kanya menoleh ke arahnya.
Rayhan berdiri, merasa tidak enak terjebak di situasi seperti ini yang ia sendiri tidak tahu jelas apa yang sedang dibicarakan oleh keduanya. "Gue keluar dulu."
"Gak, duduk di situ!" jawab Faroz langsung. "Lo perlu tahu tentang keadaan Kanya."
"Faroz!"
"Apa? Lo mau ngadepin semuanya sendiri? Lo Gatotkaca, Nya?" balas Faroz sinis.
Faroz benar-benar tidak tahan dengan Kanya. Gadis itu terlalu menganggap enteng keadaannya. Faroz tahu, meskipun Kanya membenci kedua orangtuanya, menghapus arti keluarga dalam hidupnya, dan selalu menentang perintah Papanya, tapi jika Papanya kembali meminta Kanya untuk menemui kolega perusahaan, pasti akan kembali dilakukan.
Ia benar-benar tidak tahan dengan kelakuan bejat kedua orangtua Kanya. Untungnya Kanya selalu berhasil aman tanpa harus menuruti apa yang diinginkan kolega Papanya itu.