Seorang laki-laki berbadan tegap sedang berjalan di lorong sekolah kebanggaannya. Ia berjalan sambil tersenyum, menunjukkan lesung pipi yang membuatnya terlihat sangat manis. Senyum itu yang membuat hampir semua perempuan yang bertemu dengannya meleleh, bukan hanya perempuan biasa, melainkan Ibu-Ibu bahkan Nenek-Nenek. Rayhan Dewantono, laki-laki yang baik, manis, care, dan tidak pernah memilih teman. Ia berteman dengan siapapun, bahkan ia juga berteman dengan orang gila yang ia temui di taman.
Ia berjalan menjauhi gedung IPA, karena dia adalah anak IPS. Ia ke gedung IPA hanya untuk mengantar sahabat perempuannya. Rayhan memang mempunyai sahabat perempuan, sekaligus tetangganya. Rumah mereka berhadapan, di salah satu jalan yang ada di Surabaya. Berteman sejak kecil, dimanapun ada Rayhan pasti ada sahabatnya itu. Banyak yang mengira mereka adalah sepasang kekasih, karena kemanapun selalu bersama.
“Ray!” Panggil seseorang dari belakang. Ia menoleh, melihat seorang perempuan manis sedang berlari ke arahnya. Sasandra Andrian, sahabat Rayhan yang suka sekali memanggil Rayhan ‘Ray’ Berbeda dengan teman Rayhan lainnya, mereka sering memanggil Rayhan ‘Han’
“Apa?”
“Ponsel lo ketinggalan di laci gue,” ucap Sasa sambil menyodorkan ponsel berwarna hitam ke arah Rayhan.
Rayhan nyengir. Ia sangat sering meninggalkan ponselnya di laci Sasa, karena ia sangat malas membuka handphone yang isinya hanya beberapa notif dari remaja-remaja yang berusaha mendekati Rayhan. Entah dapat dari mana nomor hp Rayhan, padahal mungkin dalam waktu satu bulan, Rayhan bisa mengganti nomornya sepuluh kali. Tapi tetap, mereka selalu tau nomor Rayhan.
“Makasih,” kata Rayhan sambil mengambil ponselnya. “Mau ngomong apa lagi?”
“Ray,” panggil Sasa dengan suara yang lemas. “Aku ingin bicara sama kamu.”
“Ayo ke mobil,” ajak Rayhan agar tidak ada yang lihat mereka. Karena Rayhan tahu, sebentar lagi Sasa akan menangis.
Mereka berjalan ke arah mobil berwarna merah yang sudah terparkir dengan rapi di parkiran guru. Rayhan, ia tidak pernah mau memarkirkan kendaraannya di parkiran siswa, ia selalu memilih di parkiran guru. Meskipun sudah berkali-kali guru maupun satpam menyuruhnya untuk memindahkan kendaraannya, dan sudah jelas ia pasti menolaknya. Sampai akhirnya guru dan satpam lelah dan membiarkan laki-laki itu memarkirkan kendaraannya di parkiran guru.
“Lo kenapa lagi, Sa?” tanya Rayhan saat mereka sudah berada di dalam mobil. “Sasa, jawab,” ucapnya lagi, karena ucapannya yang tadi tidak di respon oleh Sasa.
“Rayhan, aku capek. Dadaku selalu sesak saat aku lihat Gen sama perempuan lain. Kapan aku bisa mendapatkan Gen? Aku sayang sama dia, Ray.” Sasa menundukkan kepala, dan membiarkan air matanya jatuh menetes.
Rayhan mendekat ke Sasa, kebetulan mereka duduk di kursi belakang, sehingga bisa saling mendekat. Ia merangkul tubuh Sasa ke dalam pelukannya, membiarkan sahabatnya itu menangis dan membasahi seragamnya.
“Sa, lo cantik, lo baik. Lo nggak pantes kayak gini, masih ada cowok yang lebih sayang ke lo, Sa.” Rayhan mempererat pelukannya.
“Aku sayang sama dia, aku takut kehilangan dia.”
“Sa, kamu masih punya aku. Lagian, gantengan mukaku lah daripada muka Gen. Muka Gen itu kayak Marchel, sedangkan aku kayak artis hollywood.” Ucapnya sambil melepaskan pelukkannya pada Sasa.
“Siapa Marchel?” Tanya Sasa dengan bingung.
“Orang gila yang aku temui kemarin,” jawab Rayhan. Ia memang sering memberi nama orang gila yang ia temui, karena saat Rayhan bertanya nama mereka, mereka tidak menjawab. Jadi, dia memberi nama sendiri.
Sasa membulatkan matanya, “udah, ah, gue balik. Bye, Rayhan Dewantono.” Ucap Sasa lalu mencium kilat pipi Rayhan.
Rayhan tersenyum, melihat Sasa keluar dari mobilnya. Ia hanya diam, merasakan hatinya yang bahagia karena melihat Sasa tersenyum gembira. Kebahagiaan Sasa adalah kebahagiaannya.
***
Rayhan melangkahkan kakinya memasuki rumah miliknya yang bisa dibilang cukup besar. Sekarang pukul sembilan malam, tapi, ia baru saja pulang dan masih mengenakan seragam SMA. Ia ada urusan dengan ketiga temannya, tadi ia sudah izin ke Orang Tua nya. Satu yang istimewah dari Rayhan, jika orang tua nya mengatakan ‘tidak’ Rayhan akan menurut, tidak pernah ia melawannya.
Rayhan percaya, bahwa apapun yang dikatakan oleh orang tua itu pasti yang terbaik untuk dia. Untuk berfikir melawan orang tua saja ia takut dosa, apalagi melakukannya. Rayhan memang seorang badboy, dan orang tua nya tidak dilarang, asalkan jangan merokok, minum minuman keras, intinya, semua hal yang mengakibatkan dosa, akan ia hindari, meskipun tidak semua.
“Assalamualaikum!” teriak Rayhan sambil membuka pintu.
“Sssttt, Bang Lai diem, Teh Sasa lagi tidul,” ucap seorang gadis kecil yang sedang berlari mendekati Ray sambil membawa boneka teddy bear berwarna coklat. Gadis kecil itu sangat imut, dan mungil. Reya Adinda, adik Rayhan yang berumur tiga tahun berbeda 14 tahun dengan Rayhan.
“Oh, jadi Abang harus diem yah, biar Teh Sasa nggak bangun?” Tanya Rayhan. Reya mengangguk dengan antusias. Sedetik kemudian, Rayhan diam dengan badan yang tegap. Ia diam, tanpa bergerak sedikitpun, bahkan ia juga menahan nafas.
“Bang Lei. Bukan diem gitu.”
“Terus gimana?” tanya Rayhan sambil mengambil nafas kembali.
“Reya ngantuk. Reya nggak ngurus Bang Lei.” Reya memajukan bibirnya, lalu berlari ke arah kamarnya yang berada di lantai atas.