Sasa sekarang sedang berada di dalam kamarnya. Kamar berwarna pink dan biru, ukuran kamarnya sama seperti kamar Rayhan, sangat luas. Di kamar Sasa hanya ada buku pelajaran dari ia TK sampai sekarang, buku-buku itu masih ia simpan, katanya untuk penyemangat jika ia malas belajar. Ia bisa ingat kembali perjuangannya sampai sekarang, jika ia malas, berarti perjuangannya selama ini sia-sia.
Sendari tadi Sasa hanya mondar-mandir ke balkon lalu masuk. Ia pergi ke balkon untuk melihat apakah Rayhan sudah ada di kamarnya. Sejak kejadian kemarin yang katanya Rayhan mabuk, ia tidak lagi pernah bertemu dengan Rayhan, jika ia ke rumah Rayhan selalu bertepatan Rayahan keluar rumah, seakan-akan ia menjauh dari Sasa.
Kedua ujung bibir Sasa tertarik, membentuk sebuah senyuman. Saat ia melihat seorang laki-laki yang ia tunggu sendari tadi. Ia langsung keluar dari kamarnya, berlari menuju Rayhan yang terlihat sedang memakan permen strawberry.
“Ray,” panggil Sasa saat ia sudah sampai di pintu kamar Rayhan.
Rayhan menoleh, melihat Sasa yang sedang tersenyum di ambang pintu. Kebetulan pintunya tidak ditutup. Rayhan berdiri menghampiri Sasa, lalu menyandarkan punggungnya di tembok sebelah kiri pintu.
“Apa?” Tanyanya sambil mengunyah permen. “Kangen yah?” Katanya sambil menaik turunkan kedua alis miliknya.
“Kalau iya kenapa?” Tanya Sasa balik, sambil berdecak pinggang.
“Kalau iya, berarti lo masih pikirin gue,” ucapnya dengan pandangan kearah foto Rayhan dan Sasa saat kecil.
Sasa berjalan, mendekat ke Rayhan, lalu ia meraih tangan Rayhan dan menggenggamnya dengan erat. “Lo itu selalu ada di pikiran gue, Ray.”
Rayhan tersenyum, “Alhamdulillah, kalau lo masih pikirin gue. Gue kira dipikiran lo Cuma ada Si Gen,” ujarnya dengan pandangan masih tetap ke arah foto.
Sasa menundukkan kepalanya saat Rayhan berbicara seperti itu. Perkataan Rayhan hamper membuat Sasa mengeluarkan air mata. Ia sadar, jika ia selalu berbicara tentang Gen pada Rayhan, sampai-sampai ia lupa, bahwa yang selalu ada untuknya bukanlah Gen, melainkan Rayhan, sahabatnya.
Sama halnya dengan Sasa, Rayhan sekarang juga menundukkan kepala. Ia tidak mengerti kenapa dengannya beberapa hari ini, mendadak mabuk, dan berbicara seperti itu kepada Sasa.
“Sa, mending sekarang lo pulang. Dan maaf, gue kemarin mabuk,” ucapnya.
“Kenapa mabuk?”
“Ada hal yang nggak perlu lo tau.” Sasa mengangguk, lalu pergi meninggalkan Rayhan.
Rayhan diam, menatap punggung Sasa yang berjalan menjauh. “Terkadang, diam adalah cara yang paling baik untuk mengungkapkan rasa sayang, Sa. Semoga lo tau,” gumamnya lalu menutup pintu kamar.
***
Rayhan berjalan keluar rumah, baru saja ia membuka pintu rumah. Rayhan sudah melihat sebuah mobil jazz berwarna merah terparkir di depan rumah Sasa. Rayhan mengenali mobil tersebut, tapi ia tidak peduli. Ia tetap masuk ke rumah Sasa, meskipun Rayhan tau resiko apa yang nanti akan ia dapatkan.
Rayhan memasuki rumah Sasa seperti biasa, tanpa memencet bel. Ia berjalan dengan gayanya yang cool, melewati Gen begitu saja, tanpa meliriknya sedikitpun. Ia memasuki ruang makan, lalu duduk di samping Sasa.
“Kamu kenapa, Han? Biasanya nyanyi sambil teriak kok sekarang diem,” ujar Mama Sasa.
“Malas, Tan. Ada musuh di depan,” jawab Rayhan lalu meraih roti yang ada di depannya.
“Maksud lo Gen?” Tanya Sasa.
Rayhan mengangguk, lalu memakan rotinya dengan lahap. Ia memakan roti dengan rasa kesal, pagi-pagi sudah melihat musuh di rumah orang yang di sayang, bukan kah itu sangat menyebalkan?
“Lo ngapain ke sini? Gue berangkat sekolah sama Gen,” ujar Sasa lalu beranjak dari kursinya.
“Siapa yang mau jemput lo? Gue kesini mau minta makan. Lagian, gue tau kok, sampai kapanpun lo nggak akan milih gue saat dia ada di dekat lo.”
“Tuh lo tau,” kata Sasa lalu mencium punggung tangan kedua orang tua nya.
Rayhan memandang punggung Sasa yang semakin menjauh dengan rasa kesal. Perkataan Sasa membuat Rayhan benar-benar merasakan sesak di dadanya.
“Han, kamu suka sama Sasa?” Tanya Rudi, ayah Sasa yang dari tadi hanya diam. Namun, sangat memperhatikan Rayhan.