Rayla 2.0 Side A (Catatan 2017-2019)

Rivaldi Zakie Indrayana
Chapter #2

Telegram Digital dari Bapak

Masih sama seperti hari kemarin, cuaca Singapura tetap mempertontonkan keramahtamahannya kepada Rayla melalui cerahnya sinar matahari sepanjang hari. Dari pagi sampai sore ia menghabiskan waktunya untuk banyak bersantai, mempersiapkan diri menempuh perjalanan selanjutnya yang jelas lebih panjang lagi. Baju-baju ia tarik sekuat tenaga dari jemuran kamar apartemen Tiffany, dilipat rapi lalu dibenamkan ke perut koper. Barang bawaan lainnya turut bernasib serupa. Semuanya digasak Rayla dari tiap sudut apartemen dan jika koper sudah tidak muat, sebagian kecil ia benamkan di tas ransel. Dan bagaimana dengan oleh-oleh buah tangan? Stevie sudah mewanti-wanti sejak jauh-jauh hari agar dia tak usah membeli banyak alias sedikit saja. Itupun hanya barang-barang souvenir, bukan makanan karena akan cepat kadaluarsa sehingga jadilah Rayla hanya membeli segelintir gantungan kunci. Terlalu klasik namun masih berguna.

Gantungan-gantungan kunci itu ia taruh di tas ransel bersama dua potong kaos oblong made in Singapore hasil pembeliannya kemarin pula. Itu digunakan sebagai baju cadangan, antisipasi nanti kopernya tertinggal saat transit untuk berganti penerbangan berhubung ini adalah penerbangan tidak langsung jarak jauh lintas benua ke Kanada. Sekarang ia tinggal melengkapi penampilan. Dan gadis cantik ini lalu merogoh rok biru dongker selutut di gantungan pintu, memadukannya bersama sepotong kaos oblong abu-abu tua serta kemeja flanel kotak-kotak hijau-biru kesayangannya. Kupluk kelabu tua ia sematkan di kepala lonjongnya, menutupi sebagian rambut. Tiffany juga Stevie mengenakan pakaian sejenis membuat situasi jadi hanya Christoff sendiri yang bercelana panjang.

Maklum berhubung kini dia laki-laki sendiri. Di Dubai ia akan bertemu teman lelaki lainnya.

Semua siap berangkat, mereka langsung mengunci pintu kamar. Di lobby Tiffany tidak lupa melaporkan keberangkatannya pada resepsionis apartemen, sekaligus menanyakan apakah sebaiknya kunci dititipkan atau dibawa saja. Dan untuk keamanan, resepsionis menganjurkan Tiffany agar membawa kunci kamarnya. “Oh yeah, would you want to find a transport to Changi Airport? If you’re able, i can help you now. Maybe I can call the taxi or the airport shuttle bus.” Si resepsionis perempuan berwajah Tionghoa, ditemani rekannya yang berwajah Melayu berbaik hati menawarkan jasa transportasi umum. Keempat anak muda tadi sempat saling melihat, berdiskusi singkat sebelum memutuskan naik bus shuttle. “Please find a shuttle bus for us. We have a lot of bags today.” Pinta Stevie. Resepsionis pria berwajah Melayu mengangkat gagang telepon, memencet nomor operator shuttle. Selepasnya ia meminta Rayla menunggu di lobby dan kurang dari lima menit, bus shuttle Bandara Changi datang menjemput mereka di lobby apartemen.

Pengemudinya adalah seorang Tionghoa bersama penumpang dari berbagai negara. Ada penumpang bule entah dari Australia, Eropa atau Amerika, ada juga penumpang berwajah oriental serta melayu. Mereka juga akan ke Bandara Changi seperti Rayla. Bus berjalan, Rayla memasang sambungan earphone dari komputer tablet ke telinganya mengalunkan lagu ‘Puisi’-nya Jikustik sebagai salah satu lagu favoritnya sejak kuliah dan ia mendengarkannya hampir sepanjang perjalanan ke bandara. Cuaca cerah didukung panorama senja nan indah di Singapura menemani perjalanannya kali ini. Berulang kali matanya tak bisa melepaskan pandangan dari pantulan sinar matahari di kaca-kaca gedung pencakar langit negeri Singa. Bahkan tak mau kehilangan momen pula, dia mengarahkan bidikan kameranya ke barisan gedung-gedung tersebut menjadikannya objek kenangan sebelum mengudara ke Kanada. Dalam hatinya ia sampai bergumam, “andai senja hari ini saja bisa menjadi yang terindah sepanjang hayatku, mengapa fajar esok hari tak bisa? Kurasa itu bisa terjadi. Ayolah Ray, abadikan senja dan fajar terindah minimal sekali seumur hidupmu.”

Alunan suara merdu Pongki Barata di lagu “Puisi” semasa ia masih bergabung dengan Jikustik terus merasuki telinga Rayla. Di dalam bus kini ia mencoba mengalihkan pandangannya ke Stevie, Tiffany dan Christoff. Mereka tengah asyik sendiri. Christoff sibuk membaca brosur perjalanan wisata Singapura, Stevie-Tiffany asyik menelaah peta Kanada di bangku belakang. Rayla menduga peta Kanada itu adalah milik Stevie dari pembeliannya saat ikut konferensi di Kanada dua tahun silam. Lagi-lagi Rayla tersenyum lebar mengingat rentang waktu dua tahun silam merupakan masa keemasannya. Kala itu ia baru saja pulang dari Singapura di kala Indonesia tengah berjuang bekerja keras mempersiapkan ‘karpet merah’ bagi Presiden Joko Widodo menuju periode keduanya. Lalu alangkah beruntungnya Rayla karena ia punya kesempatan menyaksikan pelantikan kedua Presiden Joko Widodo sekaligus untuk mengulangi nostalgia masa lalunya saat remaja dahulu.

Kini masa pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin telah menginjak periode kedua. Berbagai pencapaian telah diraih, termasuk salah satunya progres pembangunan ibukota baru. Maka dengan begini, keputusan Rayla serta mayoritas rakyat Indonesia kembali memilih Jokowi sebagai Presiden Indonesia bukanlah suatu pilihan yang salah. Merupakan suatu kehormatan besar untuk bisa meneruskan masa jabatan seorang presiden paling fenomenal sepanjang sejarah bangsa Indonesia.

Bus terus dipacu kencang sampai memperlihatkan pemandangan bandara. Lalu lalang pesawat terlihat dari pinggir jalanan, menandakan keberangkatan Rayla dkk sudah semakin dekat sehingga tidak ada pilihan lagi selain bersiap menurunkan barang bawaan. Ketika menyiapkan barang bawaan inilah sang pengemudi bus shuttle menanyakan sesuatu. “Kalian turun di terminal berapa?” “Terminal 3E untuk maskapai penerbangan Emirates tujuan Dubai pak.” Imbuh mereka singkat. Pengemudi mengatakan bus shuttle akan terlebih dahulu menepi ke Terminal 1, 2 baru selanjutnya Terminal 3. Terminal 4 menjadi tujuan terakhir, untuk menurunkan penumpang pesawat berbiaya murah alias Low Cost Carrier atau disingkat LCC. Begitu masuk bandara, keramaian hilir mudik penumpang terlihat jelas di depan pelupuk mata.

***

Aplikasi Telegram di tablet Rayla memunculkan notifikasinya selepas beres check in di loket maskapai penerbangan Emirates Airlines. Rayla lalu merogohnya dari tas kecil di dalam ransel, membaca isi pesan singkat telegram dan pengirimnya tidak lain tidak bukan adalah bapak. Sekarang bapak sedang berada di Bandung setelah kemarin merampungkan tugas penerbangannya sebagai pilot dari Jepang. Menyandang status pilot senior setelah puluhan tahun mengoleksi ribuan jam terbang membantu bapak mulai bisa mengurangi jadwal terbangnya sekarang-sekarang ini. Apalagi awal tahun depan usia bapak sudah mencapai 60 tahun, standar usia pensiun bagi pilot kebanyakan yang sejatinya bisa mendapat perpanjangan menjadi pilot kontrak hingga 65 tahun. Menyambung dari itu, kemarin sebelum melepas Rayla berangkat ke Kanada bapak sempat mengajaknya bicara. Pilot senior 59 tahun ini bertanya kepada putri bungsunya, apakah sebaiknya bapak langsung pensiun di usia 60 tahun atau memperpanjang masa kerja sampai 65 tahun.

Lihat selengkapnya