Nyatanya Rayla sendiri tetap memutuskan untuk bercerita tentang masa kuliahnya pada Tiffany di sisa penerbangan Singapura-Dubai. Peta digital kini menunjukkan posisi pesawat sudah mencapai langit New Delhi, hanya memerlukan waktu sekitar tiga jam lagi sebelum mendarat. Lembaran baru ia sibak lagi menggunakan tangannya, menemukan kisah-kisah masa kuliahnya sepanjang bulan Oktober 2017. Pada bulan ke-10 di tahun 2017 ini Rayla memiliki perasaan campur aduk yang berkecamuk cukup lebat dalam dirinya. Di awal bulan ia begitu terbebani dengan hadirnya ujian tengah semester (UTS) pertama baginya sebagai mahasiswi di kampus, apalagi pada minggu pertama. Ia baru bisa menghela nafas lega menjelang minggu kedua hingga selesai.
Di masa-masa selepas UTS ia lebih banyak menghela nafas lega, namun masih menyisakan sejumlah ganjalan berupa batu sandungan juga di dalam jiwanya. Lantas bagaimanakah kisah Rayla berikutnya? Simaklah kisahnya sampai utuh di bawah ini.
Jumat, 6 Oktober 2017.
Jauh di luar dugaan, ternyata soal UTS untuk mata kuliah Logika berada di level kesulitan yang sangat tinggi. Mulanya Rayla berpikir soal UTS Logika hanya bersifat sederhana dan mudah dikerjakan. Namun kenyataannya tidak demikian. Materi yang telah ia pelajari lewat buku catatan kuliahnya mendadak ‘tidak mengandung arti’ usai ia mengerjakan sekaligus membubuhkan jawaban terbaik pada semua soal. Ia jadi ‘tergagap-gagap’ sendiri ketika melihat soal dengan instruksi menggambarkan model pola matriks pemikiran ala kuliah logika. Premis pun hanya dijawab asal-asalan dan hanya sebagian kecil soal yang ia rasa jawabannya benar. Belum lagi waktu ujiannya lebih singkat-terbatas ketimbang ujian lainnya, yakni hanya satu jam. Mata kuliah lainnya seperti Sosiologi, Ilmu Politik dan Ilmu Ekonomi masih lebih mudah dikerjakan di mata seorang Rayla. Sedangkan logika nampaknya paling sulit sendiri.
Tak pelak Rayla keluar ruangan ujian dengan tegang. Air mukanya jelas menampakkan kegelisahan yang membuatnya grasa-grusu sendiri, sampai ketegangannya itu mereda ketika sekelompok anak cowok mencegatnya. “Gimana Ray, ngerti Logika enggak?” Fikra, seorang mahasiswa prodi Administrasi Bisnis mengajukan pertanyaan yang tergolong standar. Di sampingnya ada Rian, Mahasiswa Administrasi Publik yang memiliki rambut gondrong, kulit putih dan berkacamata. “Susah fik, enggak ngerti deh sumpah. Aku enggak mengira bakal soal UTS-nya bakal sesusah itu.” Imbuh Rayla singkat. Sejak tadi ia ‘dikawal’ seorang anak cowok yang tidak lain adalah Christoff, kakaknya sendiri. Mereka memang terus bersama-sama karena sore ini akan kontrol ke dokter gigi, dan tentu di sampingnya ada Stevie.
Teringat etika saat menunggu jam kepulangan bersama teman, Rayla secara refleks menepuk pundak kiri Stevie. Gadis berparas ayu ini membisiki sahabat dekatnya sejak SMA tersebut. “Nanti mau pulang bareng enggak? Jadwal kontrolku ke dokter gigi jam 5 sore, nanti Pak Warsono (supir) bareng bapak jemput jam setengah empat habis shalat ashar. Kalau kamu mau, kamu bisa diantar dulu ke Dago.” Stevie berpikir sejenak dulu alias tidak langsung menjawab. Ia mengusap kupluk abu-abu yang jadi lebih rutin ia pakai sejak masuk kuliah menyangkut perbedaan aturan kebebasan berpakaian dibanding masa SMA dulu. Dalam hati Stevie menimbang-nimbang apakah sebaiknya tetap menuruti tawaran Rayla atau tidak. Jika ia manut ke Rayla, ia akan bisa menghemat pengeluaran uangnya. Sebaliknya jika ia menolak tawaran tadi, otomatis dia harus mengeluarkan uangnya untuk membayar jasa angkutan umum ke rumahnya. Alhasil, Stevie mengangguk setuju Rayla mengantarnya pulang sebelum kontrol ke dokter gigi.
Btw penampilan tiga anak muda itu mengalami perubahan setelah beberapa bulan ini menjadi mahasiswa. Dulu, ketika masih SMA mereka terutama Rayla dan Stevie lebih sering berpakaian rapi mengikuti ketentuan yang diberlakukan sekolah. Kini, setelah menginjak masa perkuliahan mereka jadi sering memakai baju bebas dengan gaya apapun sesuai selera. Rayla sendiri kini paling hobi mengenakan kupluk abu-abu begitu juga Stevie. Outfit luarnya seringkali sewarna, sedangkan outfit dalamnya berbeda. Rayla sering memakai kaos oblong kelabu, Stevie kerap memakai kaos oblong biru dongker. Itupun dengan kancing yang selalu terbuka lebar memperlihatkan kaos oblongnya. Hanya Christoff yang lebih sering menutup kancing kemejanya walau nuansa pakaiannya sama dengan Rayla dan Stevie selama di kampus.
Mesin mobil Toyota Hiace berbodi perak menderum kencang di lobby rektorat lewat jam empat sore. Di dalamnya sesosok pria paruh baya telah menanti dengan memegang kemudi mobil. Ruas jemari kirinya lalu meraih ponsel di dashboard sebelah kiri setir, memencet tombol-tombol huruf pada layarnya. Dan pesan singkat tadi berbalas tanpa kata. Rayla melangkah diikuti Stevie dan Christoff dari arah lobby rektorat, segera meloncat masuk ke mobil. Di baris jok paling depan tanpa basa-basi Christoff menyampaikan rute perjalanan sore ini ke Pak Warsono. “Ini sebelum ke dokter Tedja antar Stevie dulu ya pulang ke rumahnya di Dago, terus baru ke dokter Tedja.” Imbuh pemuda 18 tahun ini. Pak Warsono manut saja. Dari belakang Rayla menyahut kencang “Bapak gimana?” “Kita jemput dulu di stasiun.” Tutur supir 48 tahun tersebut.