Rayla 2.0 Side A (Catatan 2017-2019)

Rivaldi Zakie Indrayana
Chapter #9

Kado untuk Tiffany

Rayla menyingkap selimutnya lebar-lebar, memperlihatkan ruas kakinya dengan jelas ke seisi kamar siang hari ini. Wajahnya lalu menguap lebar-lebar juga menandakan ia masih belum bebas dari jeratan kantuk yang menerpa dirinya sejak tadi pagi. Ia pun kembali merebahkan dirinya di kasur namun dengan mata terbuka yang masih mengerjap-ngerjap. Lalu ia kembali mengurut kakinya, sampai ia benar-benar mengumpulkan energi. Sebangunnya dari tidur, ia lalu menyeret langkah kakinya ke jendela kamar dan melihat pemandangan di luar sana. Seperti biasa hanya ada gugusan pohon rimbun serta cericit burung yang memperindah suasana keasrian rumahnya. Dan lalu ia melihat jam dinding di belakangnya, waktu menunjukkan pukul 08.35 WIB. Rupanya masih jam setengah sembilan pagi. Masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa ia bangun kesiangan, apalagi toh sejatinya ia melanjutkan tidurnya selepas Shalat Subuh tadi.

Ini hari Jumat, ia libur alias sudah tidak ada lagi jadwal ujian tengah semester. Alhasil kini ia jadi lebih bebas menjalani hari-harinya tanpa beban ujian sambil sekaligus merilekskan pikirannya. Dan salah satu cara untuk memenuhi hal tersebut adalah dengan memperhatikan pemandangan di luar jendela kamar yang benar-benar memanjakan matanya. Apalagi jika itu ditambah dengan mengurut lengan, jelas akan semakin merilekskan pikiran. Bukan tidak ada lagi alasan untuk merasakan nikmat tiada tara. Selesai menikmati pemandangan, Rayla memilih beranjak keluar kamar. Ia setengah berlari atau berlari kecil ke halaman belakang, bergegas mengambil handuk sebelum membersihkan diri. Waktu santai macam ini membuatnya jadi lebih bebas ingin mandi kapan saja dan jam berapa saja, begitu juga sarapan.

“Besok ada kuliah enggak?”

Tahu-tahu bapak sudah sampai di rumah sepulangnya terbang dari Jeddah, Arab Saudi dalam rangka mengangkut kelompok terbang alias kloter terakhir jamaah haji 2017 untuk embarkasi Jabodetabek-Jawa Barat-Banten. Di badannya masih menempel pakaian seragam dinas pilot yang ia pakai sejak menerbangkan pesawat dari Arab Saudi ke Indonesia semalam. Ikatan dasinya saja bahkan masih menggantung pada lehernya. Serta di tangan kirinya masih terdapat satu buah kardus berisi oleh-oleh khas tanah suci bersama tas koper hitam berisi perbekalan selama dinas. Rayla yang amat sigap mengetahui kehadiran ayahnya di rumah selepas bertugas menerbangkan pesawat langsung saja memberi jawaban lugas padanya. “Enggak pak, besok enggak ada kuliah. Habis UTS gini sih enggak ada kuliah Sabtu dulu. Semua perkuliahan reguler baru normal lagi minggu depan.”

“Hmm, oke. Bapak kira besok langsung mulai kuliah. Biasanya kuliah apa yang jadwalnya kebagian tiap hari Sabtu?” Kini bapak kembali bertanya. “Sosiologi pak, jam tujuh pagi.” Rayla memberi jawaban singkat. Bapak mendeham sebentar, meneguk es teh dingin pada botol Nu Green Tea di meja dan lalu mengalihkan topik pembicaraan. “Bapak baru mendarat di Cengkareng tadi jam setengah empat subuh terus baru lanjut jalan ke Bandung jam 04.15 begitu kelar shalat Subuh. Sekarang ini masih terasa mengantuk, habis ini bapak mau istirahat. Perkara besok jalan keluar apa enggak, lihat sikon ya. Yang jelas hari Minggu kita arisan di Sariwangi--rumah Tante Laksmi. Makanya lebih baik besok istirahat dulu.” Ujar pilot senior 55 tahun ini panjang lebar. Rayla belum langsung memberi jawaban karena masih mengunyah sarapan. Selepas makanannya ditelan, baru ia memberi jawaban. “Ya lihat sikon pak. Aku juga enggak ada rencana apa-apa.”

Bapak lalu beranjak dari kursi ruang televisi sembari menepuk pundak serta mencium rambut panjang Rayla. Ikatan dasi pada lehernya ia kendurkan, dan hanya dalam hitungan kurang dari setengah jam pakaian dinas pilotnya telah berganti dengan baju rumahan. Tubuh tingginya ia rebahkan sendiri di atas kasur pada kamar depan, di samping kamar Rayla dan Christoff tentunya dengan kasurnya yang terpisah masing-masing. Alhasil Rayla kini tak bisa mengganggu bapak berhubung ia wajib mengambil waktu istirahat setelah menempuh perjalanan panjang semalam. Pilihan yang tersedia antara lain adalah mengobrol bersama Christoff abangnya, atau membuka komputer melanjutkan lagi project penulisan novel yang tengah ia kerjakan akhir-akhir ini. Atau bisa juga duduk di teras, mengamati pemandangan halaman depan rumahnya.

Rayla mengambil pilihan ketiga. Ia menenteng komputer tabletnya ke teras depan, menaruhnya di atas pangkuannya dan mulai mengetik isi jalan cerita di sana. Komputer tablet menjadi pilihan praktisnya sejak mengawali masa kuliah pada bulan Agustus silam. Urusan komunikasi instan tertulis bersama keluarga atau teman-temannya bisa disatupadukan dengan keinginannya mengetik panjang-lebar tanpa harus repot-repot membuka-tutup layar laptop. Christoff pun ikut memilih langkah serupa diikuti Stevie. Komputer tablet Samsung berukuran 10-12 inchi menjadi teman dekat mereka dalam menjalani aktivitas sehari-hari.

“Christoff lihat sikon ya, kalau enggak sama bapak nanti shalat Jumat bareng Pak Warsono atau sendiri saja bisa ya.” Dari jauh, di dalam rumah ibu memberi wejangan terkait ibadah shalat Jumat hari ini. Christoff hanya menjawab “ya”, menyesuaikan situasi-kondisi nanti siang.

Lihat selengkapnya