Seorang anak perempuan bule 13 tahun menghampiri Rayla di cafe Starbucks, tak sengaja menyenggol dengan paha kiri yang ditutupi rok setengahnya. Anak perempuan itu memiliki ciri-ciri rambut pirang nan panjang dikuncir seperti Rayla, kulit putih, mata lebar dan badan sedang. Di mata Rayla, ciri-ciri demikian mengingatkannya pada seorang aktris Amerika Serikat yang pernah bermain di salah satu film asal negara tersebut sebagai tontonannya saat kuliah dulu. Gadis tadi sangat mirip dengan aktris tontonan Rayla dahulu. Dan kali ini ia menanyai sesuatu kepada Rayla. “Excuse me, do you know where is the gate for the Emirates flight to Canada?” Tanya gadis bule tadi. “It will depart from the gate F25 at 03.30 am about three hours later. Will you fly with EK241 to Canada?” Rayla memberi jawaban Bahasa Inggris pada gadis bule itu dan ia sama sekali tidak kenal dengannya.
“Yes I am. I’ll fly to Canada with Emirates EK241.” Dia menutup percakapan. Rayla lalu kembali ke meja makannya, sudah tersaji Oreo Ice Blended di atas. Kini ia menambahkannya dengan beberapa potong roti Croissant manis. Cukup untuk sebatas menghangatkan diri saat menunggu penerbangan lanjutan ke Kanada sekitar tiga jam lagi. “Tadi siapa?” Matthew mengajukan sebutir pertanyaan menarik perhatian Christoff dan seisi meja. “Enggak tahu Matt, yang jelas sih dia juga mau terbang ke Kanada bareng kita. Tadi dia menanyakan lokasi gate-nya dimana.” Rayla membocorkan percakapannya dengan anak bule itu. Beres menjawab Matthew, Rayla celingak-celinguk mencari si gadis bule ke sekeliling kafe.
Namun ia memilih acuh sebab roti Croissant sudah menanti bersama minuman Oreo Ice Blended. Tak ayal ia segera menyantap dua hidangan tadi dan bukan Rayla namanya apabila ia tak segera membaca buku agendanya lagi.
Hari-hari pertama selepas perwalian tidak diisi kesibukan berarti bagi seorang Rayla. Waktu liburnya masih tersisa sekitar dua minggu lagi yang mengindikasikan ia akan kembali masuk kuliah per akhir bulan Januari 2018. Hatinya menari-nari riang gembira walau di sisi lain ia turut sedih tak bisa banyak merasakan suasana bulan Januari di kampus, berbeda dari zaman SMA dulu. Biasanya awal Januari sudah masuk usai libur dua pekan dan suasana bulan Januari akan banyak dirasakan di sana. Namun di kampus, situasinya akan seperti tadi. Hanya merasakan suasana bulan Januari tepat pada penghujungnya belaka. Sisanya, sebelum itu digunakan untuk libur. Dan hal itu terjadi padanya hari ini. Waktu senggang bagai jalan lengang, memberinya banyak kebebasan ibarat ruang kosong. Ia hanya tinggal memilih mau apa saja kendati akhirnya merasa bosan sendiri.
Apalagi ada satu hal yang sudah ia incar sejak akhir tahun 2017 kemarin: Mengulangi suasana 10 tahun lalu yakni pada 2008 ketika ia masih menginjak bangku kelas 3 SD. Baginya juga Christoff, suasana belajar di kelas 3 SD awal tahun 2008 lalu memberinya atmosfer tersendiri. Ada banyak memori manis yang pernah terjadi di sana dan kini mereka jatuh rindu padanya. Maka tak ayal lagi kini mereka ingin mengulanginya. Namun yang jadi pertanyaan besar, bisakah semua itu benar-benar kembali terulang lagi? Atau semuanya hanya lekat dalam relung ingatan belaka?
Tunggu saja, biar waktu yang memberi jawabannya.
Tak mau bosan menunggu waktu memberi jawabannya, sekarang Rayla memanfaatkan waktu lewat cara pergi menelusuri lekuk jalanan kota kembang Bandung. Menurut pandangan kacamatanya ada sejumlah titik yang potensial membangkitkan kenangan masa kecilnya dulu seperti Jalan Lembong, Tamblong, Asia Afrika, Siliwangi, Dago belum lagi tempat-tempat di sepanjang sisinya. Bahkan areal kampus di Jalan Ciumbuleuit sendiri usai ia mengenalnya sedari kecil. Semua titik ini ia susuri seorang diri tanpa mengajak kawannya baik Stevie maupun Christoff. Kontak terakhir bersama mereka menyiratkan Stevie kini lebih banyak ingin berdiam diri di rumah, mencoba beradaptasi menghadapi situasi sebelum kedatangan Tiffany. Kadang-kadang ia butuh waktu untuk bisa menerima kenyataan bahwa Tiffany sudah pulang ke Bogor. Ia baru akan datang lagi ke Bandung saat tiba hari libur. Itu pun sudah menjadi janjinya sebelum pulang kemarin.
Mendengar alasan begitu Rayla tak bisa memaksa Stevie ikut. Ia hanya bisa membiarkan teman dekatnya itu menikmati keputusannya sendiri. Malahan dalam hati, ia berpikir pergi menyusuri kota Bandung seorang diri akan lebih membangkitkan memori waktu lalunya. Lagi pula ia sama sekali belum kenal Stevie di tahun 2008. Orang masih SD juga. Imbuhnya dalam hati. Paling banter jika mengaitkan Stevie kepada peristiwa tahun 2008, menurutnya Stevie hanya memiliki banyak kaitan bersama band Peterpan pada sisa masa kejayaannya kala itu. Lagu-lagu dalam album ‘Hari Yang Cerah’ adalah pentolan terbaru mereka kala itu sembari menemani masa kecil Stevie. Puas mengeluarkan kelakar, Rayla bergegas segera pergi dari rumahnya.
Jalan Dago ia susuri secara utuh dari atas sampai ke bawah. Dari rumahnya, barusan ia sengaja memutar jauh ke Terminal Dago Atas demi bisa melihat bangunan SMA-nya. Ia lalu meneruskan perjalanan hingga supermarket Super Indo Dago yang sudah sering ia kunjungi sejak kecil. Hampir semuanya tak banyak berubah alias hanya suasananya yang terlihat lebih baru. Pemandangan di Jalan Siliwangi pun demikian. Masih tetap banyak pohon rimbun nan hijau. Jalan Lembong, Tamblong dan Asia Afrika nampak bak kembali membangkitkan kenangan masa kecilnya melalui aneka ragam gugusan bangunan klasik. Lagi-lagi tidak berubah apalagi bangunan klasik sudah dijadikan cagar budaya yang hukumnya untuk dirawat adalah fardhu ‘ain bin Wajib. Dan cukupkah itu melengkapi semua kerinduan Rayla pada masa kecilnya? Jawabannya adalah cukup.