Boku wa karappo de, kimi ni fureru
Kokoro ga futo, atataku naru
Boku wa te wo tsunagu toki wa tomarazu
Subete wo sotto oshinagashitta[1]
Penggalan reff lagu “Ruang Rindu” Versi Bahasa Jepang yang dinyanyikan Letto bersama Hiroaki Kato, seorang penyanyi asal Jepang bertempat tinggal di Indonesia mengalun lembut di sekujur telinga Rayla pada minggu pertamanya kuliah di semester dua setelah tempo hari libur selama 1,5 bulan. Ia mendengarnya tepat saat menempuh perjalanan dari rumahnya menuju kampus hari Kamis pagi nan kelabu ini di dalam mobil Grab yang mengantarnya. Lembutnya alunan lagu tersebut sontak membuat Rayla jatuh hati kepada liriknya kendati ia sama sekali tak pernah belajar Bahasa Jepang saat SMA dulu. Menurutnya, apapun lagu Indonesia yang diterjemahkan ke Bahasa Jepang akan selalu bisa memanjakan telinga. Apalagi sejak mendengarnya akhir tahun lalu. Melihat Rayla yang mencoba bersenandung mendengar lagu “Ruang Rindu” versi Bahasa Jepang, driver Grab lalu mengajaknya mengobrol tentang Bahasa Jepang.
“Mbak, di Unpar kuliah Bahasa Jepang?” Tutur si driver yang masih muda tersebut.
“Enggak mas, aku kuliah Hubungan Internasional. Unpar mah enggak buka program studi Bahasa Jepang juga bahasa asing lainnya.” Bantah Rayla sopan.
“Ohh enggak ada jurusan bahasa ya di sana. Aku pikir ada. Tapi kuliah HI tetap perlu kemampuan bahasa asing enggak? Paling enggak kayaknya Bahasa Inggris?”
“Enggak juga sih, mayoritas dosennya mengajar pakai Bahasa Indonesia. Adapun kelas Bahasa Inggris jumlahnya terbatas banget terus itu sering diisi mahasiswa exchange.”
“Dan rasanya menarik ya kalau bisa belajar banyak bahasa termasuk Jepang. Tadi dengar lagu Letto versi Jepang langsung suka karena lagunya enak banget. Juga mungkin.., penyanyi Indonesia zaman sekarang gampang menerjemahkan lagu ke Bahasa Jepang karena ada ikatan sejarah antara Indonesia-Jepang sejak zaman penjajahan dulu…”
Diam-diam dalam hati Rayla menyimpan takjub dengan pengemudi Grab yang mengantarnya ke kampus pagi ini. Ia terlihat enak diajak ngobrol seiring kecerdasan mumpuninya dengan arti, si pengemudi pernah mengenyam pendidikan tinggi sehingga apapun yang ia bicarakan akan selalu terasa berbobot. Berbeda jika tak mengenyam pendidikan tinggi. Barangkali itu akan mempersulit pemahaman tentang bobot akademik. “Belajar bahasa memang selalu kelihatan menarik mas. Lagian hari gini, bahasa itu bisa jadi alat diplomasi negara.” Tutup Rayla menelurkan kelakar argumentasinya masih dalam perjalanan ke Unpar. Mengingat sering macetnya lalu-lintas ke arah Ciumbuleuit tiap pagi, supir menawarkan jalan alternatif lainnya.