Satu lagi yang nyaris tertinggal.
Kemeja flanel kotak-kotak biru dan hijau sudah ia kenakan bersama kupluk kelabu di atas. Ia lalu merogoh celana jeans biru yang masih tergantung di balik pintu.
Beres mengenakan celana jeans biru, Rayla segera kembali ke kamarnya seraya menenteng sepasang kaos kaki merah muda. Di sana ia memakaikan benda itu pada sepasang telapak kaki lonjongnya berbarengan seiring ia memakai jam tangan di pergelangan kanan serta membenamkan ponsel, charger, power bank dan dompet ke saku celananya. Ransel ia gendong tepat pada kedua pundaknya, menandakan ia telah siap bertolak kuliah ke kampusnya lengkap bersama pesanan ojek online menuju ke sana. Namun belum juga memesan alias baru juga melangkah ke teras tahu-tahu suara seorang wanita paruh baya menyahut jauh dari wilayah belakang rumah. Rayla menyadari namanya dipanggil-panggil wanita paruh baya tersebut. Maka segera ia menoleh ke belakang dan mendapati wanita paruh baya itu datang berjalan ke arahnya di depan. Ternyata ibu. Ruas jemarinya menggenggam sepotong buku putih nan tipis yang nampaknya belum pernah Rayla lihat selama kuliah ini. Dan ia tidak banyak bertanya sampai ibunya menyerahkan buku putih tadi.
“Sudah pesan ojek online?” Kaget, Rayla tersadar sepenuhnya belum memesan ojek daring. Baru selang beberapa detik, aplikasi memperlihatkan posisi driver sudah sampai Monumen Perjuangan Dipatiukur. Alhasil Rayla segera bersiap berangkat, hingga ojek daringnya muncul di depan rumah. Ia lantas berpamitan kepada ibunya sembari diminta mampir ke rumah eyang nanti sore usai kuliah.
“Ke Unpar mbak?” Si pengemudi menyapa ramah. “Iya mas.” Rayla melempar jawaban seraya mengenakan helm cadangan untuk kepala lonjongnya. Lalu usai memastikan semuanya lengkap, ia segera melaju di atas motor ojek daringnya. Dan sepanjang perjalanan ke kampus Rayla menyadari tukang ojek pengantarnya masih tak mengenakan jaket seragam pengemudi ojek daring menyusul sering pecahnya ketegangan antara ojek daring sendiri dengan ojek pangkalan dalam memperebutkan penumpang. Itu sudah terjadi beberapa bulan terakhir ini tanpa sempat menemukan jalan keluarnya dan si tukang ojek pengantar Rayla hari Rabu ini sadar betul kawasan sekitar rumah Rayla masih acap didominasi tukang ojek pangkalan terutama di Dipatiukur. Tukang ojek muda itu wajib berhati-hati mengantar jemput penumpang, jangan sampai ketahuan tukang ojek pangkalan. Bahkan terkadang saking takutnya bentrok mereka kerap kali menolak pesanan.
Lancarnya lalu-lintas hari ini mempercepat perjalanan Rayla sampai kesana. Beres membayar ojeknya ia segera turun meloncat ke dalam halaman kampus tempatnya menemui Christoff yang sudah lebih dulu sampai. Begitu bertemu Rayla mendapat gorengan dari sang abang sebelum lanjut berbincang lebih jauh lagi. “Nanti sore jadi ke rumah eyang? Kelas sampai jam berapa?” Imbuh pemuda 18 tahun itu. “Jadi. Hukum Indonesia sampai jam setengah tiga. Nanti langsung berangkat ke eyang saja begitu selesai kuliah Hukum Indonesia. Kesana mau naik apa?” “Bus Damri yuk. Kayak biasanya saja naik dari Dipatiukur ke Ahmad Yani terus pindah ke bus yang Cibiru-Kebon Kelapa lanjut jalan kaki lewat Antapani.” Usul Christoff hanya ditanggapi dingin oleh Rayla. Ia hanya bisa mengangguk setuju lantaran tak punya pilihan lain lagi. Keduanya lalu berpisah di halaman gedung rektorat karena berbeda jadwal mata kuliah. Christoff terlebih dahulu singgah ke minimarket depan kampus sedangkan Rayla langsung menuju kelas kuliah.
Begitu masuk kelas, tanpa basa-basi Pak Howard segera menyampaikan kalimat-kalimat pengantar kuliah. Kemudian tanpa basa-basi juga, beliau segera mengamanahkan tugas kepada setiap mahasiswanya yang hadir. “Kuliah hari ini saya rasa enggak perlu lama-lama ya karena habis ini saya harus ikut rapat program studi. Jadi untuk melengkapi materi hari ini saya langsung saja kasih tugas tentang akulturasi budaya. Jelaskan definisi apa itu akulturasi budaya di kertas (diketik) lalu sertakan contoh kasusnya. Kumpulkan minggu depan.” Imbuh beliau mengakhiri kelas dalam sekejap. Rayla mencatatkannya di buku seraya ia dihampiri ide mengenai contoh kasus tugasnya, yakni percampuran adat Jawa dengan adat Batak dalam pernikahan putri kedua Presiden Joko Widodo, Kahiyang Ayu dengan sang suami Bobby Nasution November 2017 silam yang sarat unsur “Bhinneka Tunggal Ika”. Itu terlihat sangat jelas.