Pukul 01.55 dini hari masih terlalu pagi untuk tempat seukuran Bandara Internasional Dubai kali ini kendati situasinya tidak pernah mengenal sepi karena menjelang pagi kali ini jumlah penumpang yang hendak terbang tetap sama banyaknya dengan siang hari. Terbukti, di sekeliling Cafe Starbucks Bandara Dubai orang dari berbagai negara tetap saja terus berlalu-lalang menuju garbarata pesawatnya masing-masing. Bandara sebesar ini memungkinkan semua orang terbang ke aneka negara baik seorang diri maupun bersama orang-orang terdekat termasuk Rayla. Minuman Oreo Ice Blended pesanannya kini sudah habis, tinggal menunggu yang lainnya menghabiskan minuman. Menyadari waktu keberangkatannya ke Kanada hanya tinggal sebentar lagi, dengan melirik jam tangan di pergelangan kanan Rayla bergegas mengajak teman-temannya pergi dari kafe.
“Gengs, kuy[1] cabut ke Garbarata sekarang. Sebentar lagi pasti langsung boarding.” Imbuhnya beranjak bangkit dari kursi. “Hoo iya sabi, sabi tegnab[2] langsung cabut ke garbarata.” Matthew membalas juga dengan bahasa gaul yang dibalik-balik seperti Rayla. Dua anak millenial ini acap menggunakan bahasa demikian sejak mahasiswa beberapa tahun silam. Memastikan diri telah membayar semua pesanannya, mereka segera pergi meninggalkan kafe menuju garbarata. “Thank you for your visit guys, Barakallahu fii umrik ya akhi ya ukhti[3].” Salah seorang pelayan asli orang Arab melepas mereka di pintu masuk. “Jazakallah khairan katsiiran[4] ya akhi, Assalamualaikum.” Fariq yang kini bekerja jadi Pilot Air Asia membalas ucapan perpisahan si pelayan tadi memakai Bahasa Arab. Perangainya yang soleh, baik hati dan rajin ibadah memang membuatnya jadi demikian.
Tak heran lagi apabila Stevie merasa jatuh cinta dengan Fariq karena kebaikan sifatnya itu. “Enggak ada salahnya aku memilih dia jadi calon imamku. Paling sebentar lagi dia mengajakku naik ke ‘level ketinggian’ selanjutnya.” Kenang Stevie mengingat alasan dirinya bersedia jadi pacar Fariq sejak SMA. “Aaah, kamu nafsu amat Stev. Aku jadi iri tahu.” Goda Rayla menggambarkan kecemburuannya. “I love you 3000 Fariq.” ‘Tembak’ Stevie diam-diam dari belakang Fariq, lalu tertawa bersamaan dengan Rayla. “Kita ke gate C25 ya, penerbangan Emirates Airlines EK241 ke Toronto. Take-off jam setengah empat.” Matthew menyahut dari belakang, namun Christoff mendahuluinya karena tak ingin jauh-jauh dari Rayla sang adik perempuan satu-satunya. “Fariq, kamu enggak ada jadwal terbang di AirAsia ‘kan?” Rayla menyahut Fariq begitu Christoff datang. “Enggak, enggak ada Ray. Terakhir terbang ke Medan lanjut Bangkok terus selesai. Baru terbang di AirAsia lagi nanti setelah tahun baru.” Paparnya mengundang sorot mata Stevie.
Dia jelas tahu dinamika rutinitas penerbangan sang kekasih tiga tahun terakhir ini.
Berjalan semakin jauh, Rayla dkk semakin menyadari jarak dari kafe Starbucks ke garbarata C25 nyatanya memakan waktu cukup banyak bila ditempuh memakai cara jalan kaki. Mengetahui lelahnya berjalan kaki menyusuri bandara sebesar ini, mereka lantas berpindah dari pijakan lantai ke eskalator datar bandara yang melajukan diri sampai bermeter-meter ke depan. Dan ketika ‘bereskalator’ inilah sekonyong-konyong terbesit suatu pemikiran Rayla yang mendadak membekap kepalanya. Ia sudah menjalani kuliahnya di program studi Ilmu Hubungan Internasional Unpar selama penuh empat tahun kemarin. Masa kuliah pun baginya tidak kalah menyenangkan dibanding SMA. Akan tetapi semasa kuliah dulu, gadis pemakai kupluk abu-abu ini justru hanya merasa paling dekat dengan Stevie dan Christoff yang jelas abangnya sendiri.
Dirinya merasakan ada jarak ‘kejauhan’ dengan teman-teman kuliahnya yang lain. Padahal Rayla juga tahu, semua teman kuliahnya adalah anak baik. Keramahan mereka tak pernah absen ditunjukkan selama berada di kampus. Alhasil suasana demikian turut memperindah kisah-kisah perkuliahannya. Apalagi setelah pandemi Covid-19 melancarkan serangannya hampir dua tahun silam. Rasa kehilangan akan suasana kampus berikut keramahan mahasiswanya terasa menjalar semakin dalam ke ulu hatinya. Teman kuliah yang tetap saling berhubungan dekat hanya Stevie semata. Semasa pandemi Covid-19 melancarkan serangan, beberapa kali mereka kerap bertemu satu sama lain secara fisik di sekitar rumah untuk sekadar olahraga pagi bersama atau kalau ada keperluan mendesak, keduanya acap kali pergi berbelanja bareng-bareng di supermarket.
“Aku kangen jaman kuliah…” Tahu-tahu, tanpa disadari Rayla bergumam sendiri di atas eskalator mengundang perhatian Stevie. “Hmm, kenapa tiba-tiba menggumam sendiri Ray?” “Biasa, kangen kuliah. Rasanya ingin balik lagi ke situ, Stevie.” Untung bukan soal urusan cinta bersemi di kampus. Kalau saja Rayla membicarakan urusan asmaranya di kampus dijamin Stevie akan langsung menggoda. Gadis Tionghoa ini lalu diam berpikir sejenak mencari jawaban untuk kata-kata sahabat dekatnya barusan. “Gini deh Rayla. Kamu selain fokus mengajar jadi guru, di sela-sela itu kamu suka searching info beasiswa S2 enggak? Coba sekali-kali tengok info seputar beasiswa S2, siapa tahu ada peluang yang cocok buat kamu. Kalau ada yang cocok aku sarankan kamu langsung ambil saja mumpung ada kesempatan. Nanti kalau lancar S2, setelah lulus kamu bisa jadi dosen alias balik lagi ke kampus. Jadi deh terobati rasa kangen kampusnya.” Ujar dia panjang lebar, meyakinkan hati Rayla yang sejatinya familiar dengan saran tersebut.
Beberapa kali orangtuanya pernah menyarankan hal begitu pada masa kuliah S1 dulu. Bapak dan ibu menyarankannya agar segera mengambil kuliah S2 mumpung masih muda. Karena biasanya andai menunggu terlalu lama, akan sulit oleh batas usia. Kampus-kampus atau program-program beasiswa tertentu sering mematok batas usia calon mahasiswa pelamar beasiswa pascasarjana dengan maksud supaya ilmunya bisa cepat terpakai selepas lulus nanti. “Kalau sudah ‘kenal uang’ atau sudah kerja nanti keburu susah lagi mengambil S2.” Tantenya saja bahkan pernah bilang begitu. “Ya mungkin nanti bisa apply beasiswa S2. Sekarang fokus mengajar dulu, cari banyak ‘jam terbang’.” Rayla menimpali setuju dengan Stevie. Lebih baik mencari pengalaman kerja dulu, baru kuliah S2.
Kembali lagi ke Bandara Dubai.
Tahu-tahu mereka sudah sampai di Garbarata C25 usai melangkah selama 20 menit dari kafe Starbucks tadi. Eskalator datar memungkinkan Rayla dkk tiba lebih cepat di garbarata. Andai saja bandara tidak memiliki eskalator datar, dia butuh waktu lebih lama untuk sampai di garbarata. Mengetahui gate C25 masih dalam keadaan tertutup, dia kini memutuskan menduduki bangku ruang tunggunya bersama kawan-kawannya disusul calon penumpang lain. Para penumpang itu berasal dari banyak negara, antara lain Uni Emirat Arab itu sendiri, Kanada, Amerika Serikat, Eropa, Indonesia, India, Jepang, Korea Selatan, Singapura, Malaysia dan terakhir Australia. Bahasa dalam topik pembicaraan mereka pun tidak kalah beragam. Sebagian bisa Rayla mengerti, sedangkan sebagian lagi ia tak mengerti sepatah katapun. Hanya bisa mendengarkan tanpa tahu artinya.
Di sebelah kanan raganya Stevie telah duduk, menyandarkan punggungnya pada kursi. Di sebelah kanannya lagi Tiffany juga sudah ikut duduk, turut menyandarkan tubuhnya pada Stevie dan dalam sekejap mahasiswi 19 tahun ini langsung tertidur pulas. Mungkin dia mengantuk lantaran kurang tidur di sepanjang penerbangan dari Singapura beberapa jam lalu.